Sementara itu, pada 19 November 2021, ditemukan juga hoaks tentang aliansi dokter dunia yang menyatakan bahwa varian Delta dari India tidak ada. Pada 20 November 2021, ada pula hoaks yang menyatakan bahwa anggota Parlemen Austria meninggal setelah mendapat vaksin Covid-19.
Kemudian pada 22 November 2021, ditemukan hoaks tentang klaim vaksin Pfizer digunakan untuk melacak manusia di seluruh dunia. Terakhir, pada 24 November 2021 ditemukan hoaks yang menyebutkan bahwa ramuan soda kue, garam epsom, boraks, dan tanah liat bentonit dapat menghilangkan kandungan vaksin Covid-19.
Baca Juga: Jadi Inspirasi Keluarga di Tengah Pandemi, Yuk Lakukan 4 Kebiasaan Sederhana Ini
Dedy menegaskan, persebaran hoaks menjadi salah satu kendala besar dalam penanganan Covid-19 di Indonesia. Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat, terutama generasi muda, untuk menjadi generasi cerdas dalam menghadapi hoaks dan tantangan dunia ke depan.
“Mari kita dukung penanganan pandemi ini dengan tidak membuat dan menyebarkan hoaks. Bersama-sama kita lakukan literasi digital, tetap menjalankan prosedur kesehatan saat beraktivitas, melakukan vaksinasi, dan tekan risiko persebaran Covid-19,” ujar Dedy.
Generasi muda rentan terpapar hoaks
Generasi muda bisa dibilang menjadi generasi yang lebih melek teknologi. Namun sayang, hal itu juga membuat generasi muda lebih rentan terpapar hoaks, terutama melalui media digital.
"Dua puluh November lalu kita memperingati Hari Anak Sedunia yang ditetapkan sejak tahun 1954 untuk meningkatkan kesejahteraan anak-anak di seluruh dunia. Namun ancaman hoaks dan disinformasi masih juga membayangi anak-anak, termasuk di Indonesia," kata Dedy.
Baca Juga: Sederet Disinformasi Tentang Vaksin Covid-19 yang Sebaiknya Tidak Dihiraukan Masyarakat
Hal itu dibuktikan melalui analisis yang dilakukan oleh United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) pada 2021. Merujuk pada sebuah studi di Jerman pada 2020, 76 persen dari sekitar 2.000 anak usia 14-24 tahun setidaknya terpapar hoaks satu kali dalam seminggu.
Survei lain dari UNICEF yang dilakukan di 10 negara pada 2019 juga menemukan, bahwa tiga per empat dari sekitar 14.000 responden yang merupakan kalangan muda tidak dapat menentukan kebenaran dari informasi yang diterima.
Dalam survei yang sama, ditemukan pula bahwa penyebaran hoaks oleh mahasiswa di Indonesia dilakukan tanpa alasan tertentu. Namun, beberapa juga mengaku memiliki motivasi untuk menyenangkan diri sendiri.
“Kondisi tersebut tentu harus menjadi perhatian bersama. Tentu kita tidak ingin generasi muda kita untuk terus diancam hoaks dan disinformasi, bahkan turut menyebarkan hoaks dan disinformasi,” kata Dedy.
Dedy pun menegaskan agar seluruh masyarakat, terutama generasi muda, dapat menyikapi hoaks dengan cerdas. Tidak hanya cerdas dalam menerima informasi, tetapi juga bijak dalam menyebarkan informasi.
Penulis | : | Yussy Maulia |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR