"Mereka sekarang melanjutkan hidup agak sulit, ada beberapa anak yang sudah sekolah tapi kemudian kasus ini terangkat ke permukaan dan jadi sangat viral dan diketahui dia lulusan dari tempat pendidikan itu dikeluarkan dari sekolah karena dia sudah punya anak."
"Setelah sekolah tahu anak ini sudah melahirkan, lalu si anak dikeluarkan, artinya ini bukan maunya harusnya tetap punya hak untuk melanjutkan pendidikan," ungkap Retno.
Ia pun menyayangkan keputusan sekolah yang mengeluarkan korban secara sepihak.
Padahal, pilihan mempunyai anak bukanlah keinginannya sendiri.
"Sekolah dengan ketidakpahamannya atas hak-hak anak dan kepentingan terbaik anak, kemudian mengeluarkan, seolah-olah anak ini sudah tidak dianggap anak lagi karena sudah punya anak."
"Padahal dia belum menikah dan ini atas dasar pemaksaan, jadi mereka korban. Nah perspektif korban ini kadang tidak dipahami oleh dinas pendidikan, kementerian agama atau para guru dan pendidik," ungkap Retno.
Dari cerita ini, Retno pun sangat berharap negara bisa hadir untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak melanjutkan hidup kepada para korban.
Padahal, korban sendiri sudah memiliki beban dan trauma yang sangat berat akibat tindak pemerkosaan.
"Trauma psikis atas kekerasan seksual ini berbeda-beda tiap anak tapi rata-rata berat ya, jadi beratnya ini sampai memiliki anak, itu sangat berat bagi anak-anak dan bisa sampai seumur hidup."
"Ini anak belum berdaya, ada anak-anak yang tidak berdosa, hidupnya masih panjang. Disinilah negara ini harus hadir sebagai jaminan anak-anak ini akan bisa melanjutkan masa depannya," jelas Retno.
Isi Lengkap Putusan Hakim
KOMENTAR