NOVA.id - Saat merasa sedih, cemas, stres atau panik, mungkin kita penasaran dengan kondisi yang sebenarnya terjadi pada kita.
Alhasil, kita pun mencari tahu tentang gejala-gejala tersebut di internet.
Berkat kemajuan teknologi, informasi tentang kesehatan mental memang bisa dengan mudah kita temukan.
Hal itu pun menyebabkan kita sering mendiagnosis diri sendiri mengidap suatu gangguan tertentu.
Fenomena itu biasa disebut dengan self diagnose.
Apa itu self diagnose?
Psikolog dewasa RSAB Harapan Kita, Andita Natahania M.Psi mengatakan, self diagnose merupakan aktivitas mendiagnosis diri mengidap suatu penyakit atau gangguan berdasarkan pengetahuan diri sendiri atau informasi yang didapatkan secara mandiri tanpa pendampingan profesional.
Misalnya, saat sedang merasa cemas, kita mungkin berpikir bahwa kita mengidap gangguan kecemasan atau anxiety disorder.
Padahal, kenyataannya belum tentu demikian.
Baca Juga: Pintar Atur Emosi, Ketahui Cara Tenangkan Diri Saat Serangan Panik
"Ketika kita sudah mulai berasumsi atau melabel diri kita atas suatu gangguan, itu sudah dikatakan sebagai self diagnose," kata Andita dalam live bersama NOVA bertajuk Hati-Hati Self Diagnose, Asal Tebak Gangguan Mental, Jumat (04/03) .
Tentu saja, self diagnose bisa menimbukan bahaya.
Andita mengatakan, self diagnose justru bisa membuat kita semakin cemas atau khawatir.
Dan jika salah diagnosis, kita tidak akan menerima pengobatan yang tepat.
Alhasil, risiko mengalami kondisi kesehatan mental yang lebih parah pun bertambah besar.
Meski begitu Andita, mencari informasi tentang gangguan mental tertentu tidak selamanya buruk.
Pasalnya, informasi tentang kesehatan mental bisa menambah wawasan.
Andita mengatakan, informasi tersebut bisa membuat kita sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres di dalam diri.
Nah, setelah mengetahui ada yang salah di dalam diri kita, Andita menyarankan untuk berkonsultasi ke profesional.
Baca Juga: Pintar Atur Emosi, Ini Bedanya Toxic Positivity dan Berpikiran Positif
View this post on Instagram
"Informasi yang kita cari menjadi screening awal yang memutuskan bahwa oke saya perlu pertolongan lebih lanjut. Tapi jangan sampai membuat kita melakukan self diagnose," jelas Andita.
Lalu, kapan waktu yang tepat untuk pergi ke psikolog?
Andita mengatakan, kita bisa ke psikolog jika gejala yang dirasakan terjadi berlarut-larut, gejala tidak berkurang, dan mengganggu aktivitas sehari-hari.
"Ketika sudah melakukan upaya seperti me time, curhat, melakukan hal yang disenang, berkurang nggak gejalanya? Ketika hal tersebut nggak ada efeknya, dan sudah lama nggak ada perubahannya, dan akhirnya mengganggu kegiatan kita sehari-hari, di situlah kita perlu konsultasi lebih lanjut ke profesional," jelas Andita.
Baca Juga: Pergoki Suami Selingkuh, Ini Tips Pintar Atur Emosi untuk Redakan Kecemasan
Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.
Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)
Source | : | Nova |
Penulis | : | Presi |
Editor | : | Widyastuti |
KOMENTAR