"Bagi Kang Emil, kehilangan putera sulungnya di negeri orang adalah semacam ‘ujian kekuasaan’. Ia geregetan menghadapi otoritas Kota Bern dan negara setempat. Sayangnya ia tak bisa apa-apa di sana."
"Kalau kejadian itu di Bandung, mungkin saya sudah kerahkan seribu orang. Tim SAR, BNPB, atau apa saja. Kalau perlu minta bantuan TNI. Masyarakat juga saya kira akan ikut membantu. Tapi di sana saya ‘powerless’, Pak. Kekuasaan ternyata tidak ada apa-apanya kalau Allah sudah berkehendak," sambung Fahd menuliskan kata-kata Ridwan Kamil.
Namun waktu tak bisa diputar kembali. Apa yang terjadi telah tertulis dalam suratan takdir.
Ridwan Kamil dan keluarga hanya bisa perlahan-lahan beradaptasi dengan situasi yang berat ini.
Baginya, memori tentang Eril dari lahir hingga berpulangnya adalah kenangan yang indah.
"Kang Emil kemudian bercerita tentang bagaimana lika-liku kisah Eril lahir di New York, tumbuh besar di Indonesia, menjadi pribadi dengan akhlak yang membanggakan kedua orangtuanya hingga ia lulus kuliah."
"Kemudian meninggal di negara yang menurut Kang Emil salah satu yang terindah di dunia, seperti di surga, Swiss, saat hendak ‘berlibur’ dan mencari sekolah," cerita Fahd.
Bagai penawar lukanya, Ridwan Kamil bersyukur masih memiliki Arkana kecil.
Ia menyebut Arkana seolah ‘disiapkan’ Allah sebagai penghibur dan penyejuk hati dua tahun sebelum kepergian Eril.
Baca Juga: Ridwan Kamil Sudah Siapkan Desain Makam Eril, Terungkap Lokasi dan Filosofinya
Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.
Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)
Source | : | |
Penulis | : | Ratih |
Editor | : | Widyastuti |
KOMENTAR