Kami belajar tentang hidup yang tidak semata terdiri atas lamanya hari, tapi tentang tiap hela napas yang dipakai berbuat baik walau kecil dalam sehari-hari.
Kami mengikhlaskan Eril pergi karena kami akhirnya menyadari bahwa Allah telah mencukupkan seluruh amal-amalnya untuk menutupi kemungkinan bertambah kekhilafannya. Mungkin akan berat, tapi kami sebenarnya sudah menyiapkan hati kalau kami tidak akan pernah lagi melihat jasadnya untuk terakhir kali.
Bukankah Eril lahir di New York yang jauh di seberang, mengapa tidak jika ia wafat di Swiss yang jauhnya juga tak berbilang? Bukankah setiap jengkal tanah adalah milik Allah yang menentukan segala pergi dan pulang?
Luncuran doa yang dipanjatkan dari berbagai penjuru negeri adalah limpahan pertanda yang lebih dari cukup bagi kami untuk yakin barangkali Allah memang yang mengkhendaki agar kepulangannya disambut baik langit dan bumi.
Bagaimana mungkin kami tidak merasa dilimpahi oleh rahmat dan kurnia saat jenazah yang terbaring ini berada di air berhari-hari masih utuh lagi sempurna?
Itulah salah satu keyakinan kami bukti adanya mukjizat yang akhrinya alhamdulillah kami diberi sempat untuk melihat tanda kekuasaan Allah sang pemberi berkat, pelajaran bagi kita yang beriman dan yang pandai membaca isyarat.
Baca Juga: Duduk Bersimpuh di Hadapan Jenazah Eril, Nabila Ishma Terlihat Berbicara dengan Peti
View this post on Instagram
Kematian Eril merupakan kehilangan yang sangat telak juga pengalaman yang sungguh dahsyat. Dalam momentum yang nyaris sejajar, kami merasakan kehilangan yang paling besar. Tapi seketika itu juga kami merasa dilimpahi kasih yang akbar.
Terakhir, kami sangat bersyukur dianugrahi seorang putra yang dalam hidupnya bahkan dalam pulangnya masih mendatangkan cinta kepada kami, sang orang tua.
Baca Juga: Proses Pemakaman Emmeril Kahn Mumtadz, Hanya Keluarga Inti yang Mendekat
Dapatkan pembahasan yang lebih lengkap dan mendalam di Tabloid NOVA.
Yuk, langsung langganan bebas repot di Grid Store.(*)
Source | : | NOVA |
Penulis | : | Presi |
Editor | : | Widyastuti |
KOMENTAR