“Jika harus mengolah lahan, tidak boleh serampangan dan membawa mudharat untuk kehidupan generasi mendatang,” ucap Irwan.
Setelah nyaris 10 tahun memimpin Kabupaten Sigi, ia menyadari bahwa wilayahnya tersebut akrab dengan bencana, seperti banjir dan longsor. Karena itu, menurutnya, konsep pembangunan dengan perspektif lingkungan adalah hal yang mendesak dan tidak dapat lagi dihindari.
Baca Juga: Investasi Sambil Menjaga Alam, Sigi Jadi Tuan Rumah Festival Lestari V
Pertumbuhan tanpa mendegradasi lingkungan
Sumber-sumber ekonomi di Kabupaten Sigi, kata Irwan, dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan daerah dengan praktik yang tidak mendegradasi lingkungan.
Misalnya, petani kopi, kakao, vanili, dan tanaman hortikultura yang selama ini telah dikembangkan masyarakat di tingkat tapak.
Setidaknya ada tujuh desa di Kabupaten Sigi yang menjadi pemasok utama komoditas hortikultura di Pasar Kota Palu. Tujuh desa itu antara lain, Jono Oge, Sidera, Oloboju, Watunonju, Pombeve dan Bora serta desa Soulove. Semua desa tersebut terletak di Kecamatan Biromaru.
“Selain itu, saat ini yang sedang dan terus dikembangkan adalah wisata alam. Panorama alam Matantimali di Desa Wayu, Kecamatan Kinavaro yang menawarkan olahraga paralayang masih terus dikembangkan dan ditawarkan kepada penggemar olahraga outdoor yang memacu adrenalin,” cerita Irwan.
Paralayang di Desa Wayu akan menjadi salah satu sajian dalam rangkaian Festival Lestari 5. Ia berharap, spot wisata alam dan olahraga ekstrem tersebut menjadi lebih dikenal publik. Dengan begitu, peluang ekonomi terbuka bagi masyarakat di wilayah ini.
Spot wisata alam lainnya yang akan “dipamerkan” dalam Festival Lestari 5 adalah Hutan Ranjuri di Desa Beka. Hutan ini berisi tanaman-tanaman purba dengan ketinggian lebih dari 450 meter. Untuk mencapainya, wisatawan hanya perlu menempuh perjalanan selama 30 menit dari Kota Palu.
Baca Juga: Festival Lestari 5, Kolaborasi Bangun Ekonomi di Kabupaten Sigi dan Provinsi Sulawesi Tengah
“Komoditas lainnya yang memberi potensi keuntungan ekonomi bagi warga Sigi adalah kopi. Namun, ada persoalan krusial yang harus dibenahi soal kopi dari Kabupaten Sigi ini. Saya berharap, merek yang keluar cukup Kopi Sigi saja. Namanya tidak perlu beragam,” katanya.
Saat ini, menurut dia, merek dagang kopi dari Kabupaten Sigi dibuat berdasarkan wilayah atau desa tempat kopi diproduksi.
''Ada kopi Kamanuru ada Kopi Kinovaro dan lain-lain. Nah, bagaimana ini kita satukan nama merek dagangnya? Apa lagi kopi dari Sigi sudah menembus pasar di luar negeri,'' katanya bersemangat.
Tak hanya mendukung keberlanjutan alam dan masyarakat, komitmen serupa juga dilakukan secara tegas dalam Perda Sigi Hijau. Pembangunan berkelanjutan yang menjadi nafas Perda tersebut adalah adalah proses pembangunan di segala sektor yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.
Dalam Perda Sigi Hijau, pemerintah harus melaksanakan pelestarian dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan.
''Ini antara lain yang ingin dicapai pada gelaran festival kali ini. Perdanya sudah ada. Dinas Lingkungan Hidup juga masih ada yang akan menjelaskan. Mestinya kerja-kerja baik yang berangkat dari niat baik tetap harus mendapat tempa,'' sebut Irwan.
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
Penulis | : | Fathia Yasmine |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR