NOVA.id - Sindrom ovarium polikistik (SOPK) merupakan kelainan endokrin (hormon) yang paling banyak ditemukan. SOPK memengaruhi 5–20 % perempuan usia reproduksi.
Jika tidak ditangani secara tepat, dalam jangka panjang SOPK ini akan berkembang peningkatan risiko penyakit DM tipe 2, sindrom metabolik serta peningkatan angka kejadian kanker endometrium (dinding rahim).
Sayangnya, diperkirakan sekitar 50 % perempuan penderita SOPK tidak terdiagnosis sehingga mereka tidak mendapat pengobatan yang semestinya.
dr. Gita Pratama, Sp. OG, Subsp. FER, M.Sc,Rep, Spesialis Obstetri dan Ginekologi Subspesialis Fertilitas Endokrinologi Reproduksi dalam Promosi Doktor Program Doktor Ilmu Kedokteran FKUI hari ini menjelaskan, “Terkait SOPK ini kami pelajari lewat penelitian di Klinik Yasmin RS dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana dan melibatkan 120 subjek penelitian, yaitu perempuan usia reproduksi (18-35 tahun) yang terdiagnosis SOPK dengan indeks massa tubuh kurang dari 25 kg/m2.”
“Mereka menjalani serangkaian test seperti pemeriksaan fisik, USG dan pemeriksaan darah untuk melihat berbagai parameter hormonal dan metabolik. Selain itu juga ada pemeriksaan khusus untuk melihat polimorfisme dan mekanisme epigenetik (metilasi DNA) gen KISS1 di klaster Human Reproduction, Infertility and Family Planning (HRIFP) Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Universitas Indonesia,” lanjut dr. Gita.
Pada Desertasinya yang berjudul “Hubungan Kadar Kisspeptin, Neurokinin B dan Dinorfin terhadap Rasio LH/FSH serta Polimorfisme dan Metilasi DNA Gen KISS1 pada Pasien Sindrom Ovarium Polikistik Nir-obese”, dijelaskan juga bahwa SOPK sendiri ditandai dengan adanya gangguan haid, peningkatan hormon androgen serta infertilitas. Salah satu penemuan penelitian terdahulu berkaitan dengan obesitas, sebagai salah satu faktor risikonya.
“Meskipun obesitas salah satu faktor risiko yang kerap terjadi, namun lewat penelitian ini ditunjukkan bahwa 20–50% perempuan dengan SOPK mempunyai berat badan yang sebenarnya normal (nir-obese). Diperkirakan proses perjalanan penyakit perempuan yang obesitas dan berat badan normal (nir-obese) pun berbeda. Hormon yang memengaruhi system reproduksi perempuan, yaitu luteinizing hormone (LH) yang berasal dari kelenjar hipofisis di otak, secara signifikan lebih tinggi pada perempuan nir-obese dengan SOPK dibandingkan dengan obese. Hal tersebut menunjukkan bahwa gangguan hormonal pada otak (neuroendokrin) mungkin merupakan mekanisme terpenting pada pasien SOPK dengan berat badan normal,” tutur dr. Gita.
Dia menambahkan, diketahui tatalaksana pada SOPK adalah dengan melakukan modifikasi gaya hidup (diet dan olah raga). Penelitian menunjukkan pasien SOPK obese mengalami perbaikan gejala dengan melakukan modifikasi gaya hidup tersebut.
Karena pasien SOPK dengan berat badan normal lebih terkait dengan gangguan hormonal, maka perbaikan gaya hidup saja belum bisa memberikan perubahan gejala signifikan.
Baca Juga: 5 Olahan Sehat Bergizi Ini Ternyata Jadi Makanan Penyebab Jerawat, Kok Bisa?
“Temuan inilah yang memicu kami untuk membuat penelitian yang dapat lebih memahami proses terjadinya penyakit (patogenesis) SOPK, khususnya pada pasien nir-obese sehigga diharapkan dapat mengembangkan tatalaksana yang tepat di kemudian hari,” jelas dr. Gita.
Penulis | : | Annisa Octaviana |
Editor | : | Annisa Octaviana |
KOMENTAR