NOVA.id – Kaus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami dokter Qory (37) sempat membuat heboh masyarakat
Pasalnya, ia dianiaya fisik, mental, dan finansial oleh suaminya sendiri, Willy Sulistio (39) yang diketahui saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus KDRT dan sudah ditahan.
Namun belakangan terdengar kabar bahwa dokter Qory ingin mecabut laporannya.
“(Mau cabut laporan) betul, sementara baru penyampaian lisan ke kami," ujar Kasat Reskrim Polres Bogor AKP Teguh Kumara di Mapolres Bogor, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (20/11/2023).
Teguh mengatakan, Qory berencana mencabut laporan karena masih menyayangi suaminya. Hal itu disampaikan langsung oleh Qory ke penyidik.
"Yang kami tahu memang, kami lihat dan kami komunikasikan dengan dokter Qory, pasangan ini saling sayang dan kemarin terjadi kekerasan itu karena dipicu emosi yang memuncak," ungkapnya.
Teguh mengatakan, sebelum laporan dicabut, kasus tersebut masih akan terus bergulir.
Berkaca dari kasus ini, namun terlepas dari detail kasusnya, kisah dokter Qory bisa dibilang kisah toxic relationship.
Apa itu toxic relationship?
Toxic relationship atau hubungan beracun adalah hubungan yang membuat salah satu atau kedua individu di dalam hubungan tersebut tidak merasa bahagia, direndahkan, mengalami ketidakadilan, dan mengalami kekerasan baik psikis, fisik, atau finansial.
Parahnya, toxic relationship yang terjadi sering tak bisa diselesaikan dengan tuntas.
Baca Juga: Belajar dari Dokter Qory, Ini 4 Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Gak Cuma Soal Fisik!
Terutama pada pasangan menikah. Ada banyak pertimbangan yang membiarkan dirinya berada dalam hubungan itu secara terus menerus.
“Sebenarnya toxic relationship seperti mata rantai yang tak terputus,” jelas psikolog dewasa, Inez Kristanti, M.Psi dikutip dari Tabloid NOVA Edisi 1609.
Inez menjelaskan, hubungan “beracun” biasanya diawali dari ketegangan (tention) dalam sebuah hubungan.
Nah, setelah fase ketegangan itu, sering kali berkembang menjadi tindakan kekerasan (insiden), baik itu secara fisik maupun psikis.
Misalnya pelaku memaki-maki atau bahkan melakukan pemukulan.
“Kalau sudah begitu, korban biasanya jadi sedih. Terus, pasangan yang menyadari berusaha minta maaf. Mereka pun kemudian baikan. Setelah tahapan ini, kami sering bilang dengan fase honeymoon, karena hubungan jadi mesra lagi. Padahal setelah itu, biasanya kembali lagi ke dalam kondisi yang penuh ketegangan,” jelas Inez.
Inez menyebut, kondisi toxic relationship yang selalu berulang ini biasanya tak terlihat secara gamblang dari dunia luar.
Karena pasangan yang terlibat dalam hubungan itu, sering kali menutupinya dengan mengatakan bahwa hubungan mereka baik-baik saja.
Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Hubungan tampak tidak sehat, bahkan sering kali salah satu pihak merasa terisolasi.
Dia tak bisa berteman, apalagi menceritakan kondisinya itu pada orang lain.
Celakanya lagi, dalam toxic relationship perempuan sering kali menjadi korban.
Menurut Inez Kristanti, hal itu terjadi karena adanya ketidaksetaraan gender. Selama ini, dalam tradisi biasanya perempuan diajarkan untuk lebih menerima keadaan ketimbang lelaki.
Bagaimana menurut Sahabat NOVA? (*)
Penulis | : | Maria Ermilinda Hayon |
Editor | : | Maria Ermilinda Hayon |
KOMENTAR