Terutama pada pasangan menikah. Ada banyak pertimbangan yang membiarkan dirinya berada dalam hubungan itu secara terus menerus.
“Sebenarnya toxic relationship seperti mata rantai yang tak terputus,” jelas psikolog dewasa, Inez Kristanti, M.Psi dikutip dari Tabloid NOVA Edisi 1609.
Inez menjelaskan, hubungan “beracun” biasanya diawali dari ketegangan (tention) dalam sebuah hubungan.
Nah, setelah fase ketegangan itu, sering kali berkembang menjadi tindakan kekerasan (insiden), baik itu secara fisik maupun psikis.
Misalnya pelaku memaki-maki atau bahkan melakukan pemukulan.
“Kalau sudah begitu, korban biasanya jadi sedih. Terus, pasangan yang menyadari berusaha minta maaf. Mereka pun kemudian baikan. Setelah tahapan ini, kami sering bilang dengan fase honeymoon, karena hubungan jadi mesra lagi. Padahal setelah itu, biasanya kembali lagi ke dalam kondisi yang penuh ketegangan,” jelas Inez.
Inez menyebut, kondisi toxic relationship yang selalu berulang ini biasanya tak terlihat secara gamblang dari dunia luar.
Karena pasangan yang terlibat dalam hubungan itu, sering kali menutupinya dengan mengatakan bahwa hubungan mereka baik-baik saja.
Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Hubungan tampak tidak sehat, bahkan sering kali salah satu pihak merasa terisolasi.
Dia tak bisa berteman, apalagi menceritakan kondisinya itu pada orang lain.
Celakanya lagi, dalam toxic relationship perempuan sering kali menjadi korban.
Menurut Inez Kristanti, hal itu terjadi karena adanya ketidaksetaraan gender. Selama ini, dalam tradisi biasanya perempuan diajarkan untuk lebih menerima keadaan ketimbang lelaki.
Bagaimana menurut Sahabat NOVA? (*)
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
Penulis | : | Maria Ermilinda Hayon |
Editor | : | Maria Ermilinda Hayon |
KOMENTAR