Nah, berpijaklah pada kenyataan ini setiap kali Anda sedang merasa tidak berdaya, Bu. Dengan demikian, pelan-pelan Anda akan bisa memulihkan kembali keyakinan diri bahwa hidup ini harus terus berlangsung, dengan ataupun tanpa laki-laki yang pernah jadi suami Anda.
Tahapan berikutnya, saya ingin mengingatkan Anda, Bu D, bahwa emosi dan perasaan Anda adalah tanggung jawab Anda sepenuhnya! Apakah Anda akan terus larut dalam kesedihan atau mengatakan pada diri sendiri "Stop, no more tears," aku tak mau menangis lagi, kontrolnya ada pada Anda. Cemooh, kata-kata pedas dan ketus tak bisa Anda hilangkan, karena itu adalah faktor lingkungan yang tak pernah bisa kita atur atau kita kuasai. Tetapi bagaimana Anda bereaksi terhadap lingkungan, sebenarnya kontrol atau kendalinya sepenuhnya ada pada Anda, Bu D.
Memang, ketika sedang sedih atau merasa tak berdaya, omongan dengan volume keras saja sudah terasa menyakitkan. Apalagi kalau di saat itu kita juga punya kebutuhan untuk diperhatikan, mendengar kata-kata penghiburan, tetapi kok, sepertinya tak ada orang yang paham kebutuhan kita. Over sensitif namanya, Bu D.
Nah, kalau kita tanya ke orang-orang di sekeliling kita, biasanya mereka pun tidak sadar lho, bahwa Anda tersinggung dan tak merasa dipahami. Apalagi, Anda sendiri juga tak pernah mengutarakannya secara lisan. Maka, kalau kita tak kunjung belajar menampilkan diri secara verbal ke lingkungan kita, jangan salahkan lingkungan kalau mereka lalu tak tahu kita ini sedang ingin diperlakukan bagaimana dan diajak bicara seperti apa.
Berikutnya, biasakan diri untuk berbagi perasaan dengan lingkungan. Bukan berkeluh-kesah, tetapi bercerita tentang perasaan yang sedang ada saat kita bercerita. Kemampuan berbagi akan membuat rasa sesak di dada jauh berkurang ketimbang Anda pendam semuanya untuk diri sendiri. Tak usah takut dicemooh, karena kalau kita bercerita tentang diri sendiri, seyogianya, yang mendengar cerita kita menerimanya sebagai sebuah kebenaran, bukan bahan untuk mencemooh kita, bukan?
Percayalah Bu, bila Anda tidak bersikap tertutup mendung terus seperti langit Jakarta hari-hari ini, jujur dan peduli pada orang lain, lingkungan akan juga punya keinginan untuk berbagi dengan Anda. Ketika memasak, katakan pada adik Anda: "Dik, aku bikin ikan kesukaanmu, nih," atau ceritakan bahwa anaknya lahap memakan nasi goreng Anda. Yang penting bertukar sapa-lah, karena cemberut sangat dekat ekspresinya dengan murung. Jadi, orang selalu bisa salah sangka. Akan tetapi, cemberut sangat beda ekspresinya dengan wajah ramah yang penuh senyum, bukan?
Nah, ayo Bu, perbanyak senyum. Mula-mula bisa saja terasa terpaksa. Tetapi ketika kita melihat di cermin, senyum di wajah kita, otomatis hati dan perasaan akan berubah. Apalagi kalau kemudian lingkungan memberi reaksi positif, "Naaah begitu dong, banyak senyum, kan cerah wajahnya dan enak dilihat?" Pastilah Anda juga akan happy dibuatnya.
Coba ya, Bu D? Akan baik sekali kalau sesekali Anda juga menjajaki bagaimana sebenarnya ayah, ibu, adik dan ipar Anda menanggapi diri Anda. Apakah yang selama ini Anda lakukan memang terasa manfaatnya untuk mereka? Ngobrol, Bu, jangan mengeram di kamar saja. Dalam banyak hal, orang memang lebih senang didahului daripada mendahului bicara. Kenapa Anda tidak mengambil saja inisiatif untuk bicara dan ngobrol dengan mereka?
Tidak tertutup kemungkinan kan, Bu D, karena Anda selama ini memberi kesan menarik diri, sedih, dan cepat tersinggung, mereka justru sungkan bicara ataupun memulai percakapan. Takut salah, atau takut menyinggung perasaan. Nah, sangka-menyangka seperti ini hanya bisa diakhiri dengan keberanian salah satu pihak untuk berinisiatif membuka pembicaraan terlebih dulu.
Ayo, Bu D, ambillah inisiatif untuk menjadi teman bicara yang menyenangkan. Asal Anda tahu saja, orang paling menyebalkan adalah orang yang kalau bicara cuma mengeluuuuh saja, atau tak henti-hentinya menceritakan kegundahan dirinya tanpa punya minat pada keadaan orang lain. Nah, hindari menjadi sosok seperti ini, ya? Miliki minat pada orang lain, peduli tetapi disertai ketulusan dalam melakukannya. Anda pasti akan jadi sosok yang menyenangkan.
Luka hati memang tak akan pernah hilang dari ingatan Bu, dan tak perlu dilupakan. Justru kita harus berani belajar dari kegagalan yang pernah kita buat agar di masa mendatang tidak terjerumus ke permasalahan yang sama dan memilih laki-laki yang serupa saja dengan mantan suami. Bukankah yang seperti ini banyak dialami oleh para janda yang menikah kembali?
Secara tidak disadari, acuannya ketika memilih suami ya tetap saja acuan yang dulu dipakai untuk memilih sang mantan suami yang sebenarnya sudah terbukti tidak sesuai untuk dirinya. Hanya dengan keberanian menelaah lagi, apa yang salah atau kurang di perkawinan dulu itu, baru seorang perempuan punya peluang untuk lebih berhasil menjaga keutuhan perkawinannya yang kedua. Tapi ini barangkali akan menjadi rencana hidup tahap berikut, ya. Yang segera perlu dihadapi dan diselesaikan adalah bagaimana membuat diri Anda nyaman di lingkungan rumah, dengan keluarga terdekat.
Oke sayangku, ayo mulailah tersenyum, berbagi, tingkatkan minat dan kedulian pada lingkungan. Bergaulah dan jangan izinkan diri Anda untuk terus menerus merasa sedih, malu, dan tertekan. Hidup Anda sangat indah, kok, untuk dijalani. Salam sayang.
Oleh: Dra. Rieny Hasan
KOMENTAR