Saya menikah dengan pria bernama Robert Ibrahim, 11 November 1989. Robert adalah cinta sejati saya, dialah satu-satunya lelaki yang pernah saya pacari. Banyak teman yang tanya, "Kenapa sih Rat, kok cuma pacaran sekali?" Ya, jatuh cintanya cuma sama dia, kok. Kami bertemu di gereja. Pertama kali bertemu, saya masih kelas 1 SMP, sementara Robert kelas 1 SMA. Usia kami beda 4 tahun. Waktu saya lihat dia, hati saya berkata, "Ya Tuhan, cakep banget nih cowok. Jadi suami saya nggak ya?"
Kami berpacaran sejak saya kelas 3 SMP. Cara dia "nembak" saya juga lucu. Dia bikin surat, terus bilang "Nanti dibaca ya.." Soalnya, waktu itu dia mau berangkat ke AS untuk melanjutkan belajar. Setelah dia berangkat, saya buka surat itu, tapi saya tidak bisa baca soalnya tulisannya jelek banget. Pas dia balik setahun kemudian, saya tanya, "Sayang, kamu dulu nulis apa sih?" Eh, ternyata dia sendiri juga sudah lupa...ha ha ha.
Kami berpacaran selama 9 tahun, putus nyambung. Robert belajar di luar negeri selama 4 tahun. Sementara dia di Amerika berjuang untuk membuktikan pada ayah saya bahwa dia serius belajar, saya di Jakarta asyik main, ikut Teater Populer, main pantomin, main band, pergi kemping, dan lain-lain. Enggak heran IP-nya sangat bagus, close to 4.
Saya sendiri masuk SMA jurusan IPS. Saya enggak jago Matematika. Malah, saya sering diskors sama guru Matematika gara-gara buku Matematika saya tulisi "Mati-Matian". Nah, Robert dengan telaten ngajarin saya Matematika. Sementara saya sendiri enggak ngerti apa yang dia ajarin...ha ha ha.
Main 4 Semester
Saya memang buruk di hapalan, jadi tidak memenuhi syarat masuk jurusan IPA. Mau masuk jurusan Bahasa, eh, ternyata pelajarannya juga kebanyakan hapalan. Akhirnya saya pilih jurusan IPS. Saat saya masuk IPS, ayah punya harapan saya bisa masuk Fakultas Ekonomi UI supaya bisa menjadi akuntan seperti beliau. Tapi saya bilang, saya nggak bakat masuk ekonomi. I'm not so good di angka-angka.
Lulus SMA, ibu saya nanya, "Mau kuliah dimana?" Saya bilang mau masuk Arkeologi atau Antropologi. Ibu bilang, "Ratih, sekarang saja kamu sudah dekil, bagaimana kalau masuk Arkeologi?" Orangtua memang membayangkan saya kelak jadi istri pejabat yang harus rapi, santun, layaknya seorang lady.
Saya bilang, "Kalau begitu saya masuk ITB saja, ambil jurusan Seni Rupa." Wah, tambah paniklah orangtua. Setelah berdebat dengan ibu, hasilnya saya harus daftar ke UI dulu, baru boleh mencoba ke ITB. Kalau tidak daftar ke UI, saya tidak boleh daftar ke ITB dan mending tidak usah kuliah.
Waktu itu, Fakultas Psikologi UI masih baru. Dan saya merasa kayaknya saya bisa mengikuti kuliahnya. Intinya kan seputar common sense...he he. Pilihan kedua di FISIP UI. Akhirnya saya diterima di Psikologi UI. Selama 4 semester, kerjaan saya hanya main. Lepas dari SMA yang aturannya ketat, begitu kuliah saya serasa dilepas. Saya bebas. Kampusnya waktu itu masih di Rawamangun, terus pindah ke Depok.
KOMENTAR