Berbicara mengenai seni peran, sebenarnya anak kedua dari pasangan (Alm) Djohan Iskandar Salim dan Lies Kurniasih ini mengaku bukan anak yang terlahir dalam keluarga yang memiliki darah seni. "Aku enggak tahu seperti apa keturunan yang dari atas-atasku. Tapi, aku tahu ada kakak sepupu yang tinggal di Australia yang juga terjun ke dunia akting," tuturnya sambil tersenyum.
Akan tetapi, bakat seni Karina mulai terasah sejak ia dimasukkan ke sekolah balet Namarina oleh Sang Ibu. Enam belas tahun bergelut sebagai balerina akhirnya membuat perempuan kelahiran 24 Agustus 1991 ini jatuh cinta pada dunia seni. "Aku terjun di dunia balet sejak umur lima tahun. Di balet tidak hanya menari karena selalu ada pementasan setiap tahun."
Dalam pementasan ini, setiap balerina akan diaudisi. "Saat aku dipercaya menjadi pemeran utama maka aku akan diikutkan acting coaching." Jadi, pada dasarnya Karina sudah mengenal akting sejak mendalami balet. Karina juga tertarik dengan teater hingga memutuskan mengikuti audisi Onrop! Musikal karya Joko Anwar yang membuka pintu kariernya di dunia seni peran.
Kagumi Sherina
Sukses mengukir nama di pangung teater, Karina kembali dipercaya oleh Joko Anwar untuk bermain dalam film pendek berjudul Durable Love yang dirilis tahun 2012. Karina pun mengaku sangat bahagia saat satu per satu mimpinya mulai terwujud, "Satu hal yang selalu aku ingat di masa kecil dan membuat aku terobsesi dengan akting, menari, dan menyanyi itu karena menonton Petualangan Sherina," kenang Karina.
Kala itu, Karina memiliki cita-cita ingin menjadi seperti Sherina. "Makanya aku dimasukkin sekolah balet dan les lainnya," ujarnya sambil tertawa. Melalui rekomendasi Joko Anwar pula, Karina mulai mendapatkan tawaran film lain. Salah satunya, film What They Don't Talk About When They Talk About Love.
Film yang ditayangkan pada 2013 ini disutradarai Mouly Surya. Peran yang didapatkan Karina adalah Diana, gadis berusia 17 tahun yang mengidap penyakit low vision atau keterbatasan penglihatan. Demi peran ini, ia melakukan observasi selama tiga bulan. Pasalnya, Karina ingin mengenal perbedaan antara penyandang tunanetra dan mereka yang mengidap low vision.
"Jujur, ini merupakan akting yang paling sulit yang pernah aku jalani. Kalau menjadi tunanetra, pandangannya benar-benar kosong. Sedangkan pengidap low vision masih bisa melihat sedikit dengan jarak beberapa sentimeter. Jadi aku mencoba untuk terus menggerakkan mata sambil mencari fokus," ungkapnya.
Bintangi Film Berkelas
Usaha Karina berbuah manis karena film yang masuk dalam Sundance Film Festival tersebut menuai pujian. "Saat nonton filmnya, aku masih tidak percaya kalau aku bisa memerankannya. Tapi, pas aku melihat respons positif dari penonton dan bisa diputar di Sundance festival, aku sangat bangga dan terharu. Ini pengalaman yang paling berkesan buatku."
Selepas film layar lebar pertamanya, Karina semakin melebarkan sayap di dunia akting. Ia kembali mendapat kesempatan bermain di film Pintu Harmonika karya sutradara Ilya Sigma, Luna Maya, dan Sigi Wimala. Setelah itu, ia kembali bermain dalam film Kebaya Pengantin.
Dalam film arahan sutradara Nia Dinata tersebut, Karina bermain dengan bintang ternama seperti Atiqah Hasiholan, Lukman Sardi, dan Aida Nurmala. Ia bersyukur mendapatkan kesempatan emas ini sebab ia bisa belajar banyak hal lewat para seniornya. "Walaupun sempat gugup tapi aku sangat menghormati dan banyak belajar dari mereka," ujarnya.
Rutin Balet
Meski kini namanya mulai meroket di dunia perfilman Indonesia, Karina enggan meninggalkan dunia balet yang membesarkan namanya. Baginya balet dan akting merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. "Meskipun aku sempat menunda selama dua tahun karena lagi sibuk sekali di film. Tapi, ibuku selalu mengarahkan untuk menyelesaikan balet."
Lies, kata Karina, tidak pernah memaksakan apa pun dalam hal pendidikan kepada dirinya. "Ibu hanya minta aku lulus sekolah balet." Balet memang memiliki jenjang "pendidikan" yang panjang. "Kayak dari TK sampai kuliah," ujar Karina. Saat ini, Karina berada di jenjang akhir yaitu advanced 2. "Susah banget buat lulus. Aku sudah lima tahun di sini (berada di level advanced 2, Red.) ditambah aku sempat postpone (ditunda, Red.) juga," katanya sambil tertawa.
Kelak, bila Karina lulus dari sekolah balet, ia akan mendapatkan gelar ARAD dari Royal Academy of Dance. "Sertifikasinya dari Inggris dan diakui di seluruh dunia," jelas Karina. Balet bagi Karina mengajarkan banyak hal, terutama soal ketahanan mental, "Kompetisi di balet itu sangat tinggi. Saat ingin mendapatkan peran utama butuh usaha yang besar juga."
Berkat balet pula, Karina tahu ia mesti berusaha keras untuk mendapatkan sesuatu. "Makanya saat terjun di akting, mentalku jauh lebih kuat menghadapi tantangan dan persaingan. Aku enggak boleh takut." Keteguhan hati dan kerja kerasnya pun membuat ia dinobatkan sebagai pendatang baru wanita terbaik di ajang "Indonesian Movie Awards 2014" lewat film What They Don't Talk About When They Talk About Love.
"Aku bersyukur banget. Pada dasarnya, bisa dapat kesempatan bekerja sama dengan nama besar di film ini dan bisa mengharumkan nama Indonesia ke luar saja sudah di luar dugaan dan harapanku. Apalagi sampai bisa meraih award ini," ungkapnya penuh haru.
CAROLINE PRAMANTIE
KOMENTAR