Timo mengakui instingnya sebagai laki-laki sutradara memang terbilang sadis dan berdarah-darah. "Di film Killers, saya merasa lebih personal. Enggak bisa dipungkiri kalau Jakarta dekat dengan kekerasan. Di film saya yang terbaru, saya mau membuat film yang lebih fun dan sangat berdarah-darah serta lebih daripada film Killers. Sesuatu yang brutal dan bisa dikatakan 'sepupunya' The Raid, lah."
Cari Reaksi
Jalan Mo Brothers memang tak selalu mulus hingga mereka bisa menjadi sutradara ternama seperti saat ini. "Setiap film memiliki kesulitan dan tantangan, jadi saya memang tidak bisa menilai mana yang paling susah." Akan tetapi, Kimo mengakui mereka mengidamkan reaksi para penonton. "Saya suka reaksi orang akan suatu hal. Reaksi itu menjadi kepuasan buat saya sebagai filmmaker, karena saya dan Timo yang menentukan setiap adegan di mana penonton takut, tegang, dan tertawa. Kami sukses kalau keluar reaksi tersebut dari penonton," jelas Kimo.
Kesuksesan ini pun tak datang dalam sekali kata sepakat. Apalagi menyatukan isi dua kepala bukan hal yang mudah. Tak jarang, mereka kerap berdebat. Untung saja, chemistry yang terbangun sejak kuliah membuat mereka tetap sejalan. "Kimo bagaikan rem buat saya yang selalu nge-gas. Saya selalu berterima kasih karena dia lebih dewasa, lebih diplomatis, dan logikanya lebih masuk akal. Istilahnya, Kimo itu filter yang paling mengerti kemauan saya," jelas Timo.
Menurut Kimo, perbedaanlah yang membuat mereka solid. "Apa yang Timo lihat belum tentu saya lihat. Begitu pula sebaliknya. Intinya pada satu titik, tetap harus ada yang mengalah. Tapi, enggak bisa terukur siapa yang lebih banyak," tambah Kimo. Kini, Mo Brothers hanya ingin membuat film berkualitas yang bisa dinikmati penggemar film. "Terutama, saat keluarga besar kami menonton dan mereka tidak malu. Intinya, kami engggak mau bikin film yang bikin malu tapi mau bikin film yang keren buat semuanya."
CAROLINE PRAMANTIE
KOMENTAR