Kecintaan Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto pada dunia film adalah tonggak awal pertemanan mereka sejak 2001. "Waktu kuliah di Sydney, saya membuat film independen untuk anak-anak Indonesia di Sydney. Kebetulan, saya butuh sinematografer." Saat itu, ada satu orang yang benar-benar bersemangat. Dialah Timo. "Kami berteman di proyek kampus. Saya sutradara dan dia sinematografer," ungkap Kimo saat ditemui di kantor Production House (PH) Merah Production.
Kerja sama terus berlanjut sampai mereka membuat film pendek untuk festival film yang dibuat perkumpulan mahasiswa Indonesia di Australia. Film pertama bergenre horor itu berjudul Sendiri (2003). Singkat cerita, dua sahabat ini sempat terpisah saat Timo melanjutkan kuliah ke New York, Amerika Serikat, dan Kimo pulang ke Indonesia. Meski demikian kecintaan terhadap dunia film membuat mereka tetap berkarya.
Ajukan Syarat
Sedari kecil, Kimo gemar menonton film dan mengintip behind the scene pembuatan film. "Saya berpikir kayaknya membuat film itu keren banget." Saat berumur 12 tahun, Kimo rajin membuat film memakai handycam yang dibelikan ayahnya waktu berlibur di Amerika Serikat. Meski hanya proyek iseng bersama saudara-saudaranya, film tersebut selalu ditonton bersama keluarga. "Rasanya menyenangkan sebab ide saya membuat film bisa ditonton semua orang dan bisa melihat reaksi mereka," jelas Kimo.
Hal serupa diungkapkan Timo. "Mungkin dampaknya besar dalam hidup saya, sehingga saya merasa menjadi filmmaker itu menyenangkan." Sayangnya, cita-cita mereka untuk terjun ke dunia film sempat ditentang orangtua. Ayah Kimo, misalnya, memberikan syarat supaya Kimo mengambil jurusan bisnis saat berkuliah di Australia. "Saya ambil bisnis manajemen sambil tetap diselingi kegiatan membuat film," kata Kimo.
Cerita Timo hampir mirip. "Kalau saya, ditekankan untuk menjadi dokter. Padahal, sejak lama saya merasa enggak bakal bisa jadi dokter. Makanya, pas kuliah saya diam-diam ambil sekolah film." Keluarga Timo patah hati setelah mengetahui keputusannya. "Mereka masih negosiasi agar saya masuk sekolah desain karena berpikir filmmaker di Indonesia enggak ada masa depannya. Tapi, saya tetap ambil sekolah film."
Ingin Lebih Gila
Selesai meraih gelar, Kimo dan Timo kembali bertemu dan mulai meramu ide untuk membuat film. Akhirnya, tercetuslah film pendek berjudul Dara. Saat film rampung, Kimo dan Timo mulai memikirkan nama panggung. "Banyak yang berpikir nama Mo Brothers keren banget. Tapi, enggak ada yang tahu ide itu kekanak-kanakan banget."
Saat sedang menyunting film, mereka kebingungan memutuskan nama yang bakal dicantumkan terlebih dahulu. "Ada ego di antara kami. Nah, daripada menggerutu di belakang, kami sepakat membuat nama ini," ungkap Timo. "Nama Kimo Timo terlalu panjang, jadi walau kami bukan saudara kandung, tapi nama ini terlahir karena kami menyukai dunia perfilman," tambah Kimo.
Setelah film Dara menuai sukses di festival film internasional, Kimo dan Timo terpikir membuat film Dara versi panjang yang berjudul Rumah Dara. Duo sutradara ini lalu membuat proyek film berjudul Killers. Para penyuka genre horor ini memang piawai membuat film horor dengan rasa Hollywood. Terbukti, film Killers berhasil tayang perdana dalam festival film Sundance 2014. "Dulu, kami berpikir bagaimana agar kami bisa membuat film yang berbeda. Makanya, kami membuat film Rumah Dara yang sangat ekstrem dan akhirnya Mo Brothers dikenal sebagai pembuat film 'gila'," kenang Kimo.
KOMENTAR