Blok Kebon Gedang, Ciwaringin, Cirebon sore itu terlihat lengang. Sebagian pintu rumah penduduk di desa tersebut tertutup. Namun, tidak demikian dengan salah satu bilik berdinding bambu sebuah rumah. Di sana tampak beberapa wanita sedang duduk menorehkan canting berisi malam ke selembar kain membentuk satu motif yang dikenal dengan motif tebu sekeret.
Motif tebu sekeret, salah satu motif batik yang biasa dikerjakan kaum ibu di desa itu. Mereka bahkan hafal teknik membuat lekuk dan garis pada selembar kain tanpa membuat pola terlebih dulu. Satu di antara kaum ibu yang masih membatik yakni Hafini (70), yang mengaku sedari kecil sudah biasa membatik. Keterampilan ini diperoleh dari orangtuanya yang juga perajin batik.
Hafini tidak sendiri. Sebagian besar kaum ibu di blok ini mampu membatik. Ya, membatik sudah menjadi warisan turut temurun. Bahkan kini generasi mudanya pun turut membatik. Ini pula yang membuat blok ini semakin dikenal sebagai sentra batik. Untuk mengukuhkannya, di pintu masuk blok tersebut dibuat gapura bertuliskan Kampung Batik Tulis Ciwaringin.
Penduduk di blok ini sekitar 500 KK. Fathoni (40 ), salah seorang perajin batik mengatakan, sebagian besar penduduk hidup sebagai petani sekaligus perajin batik. Saat musim tanam dan panen tiba, mereka menghabiskan waktunya di sawah, sementara membatik dilakukan pada waktu luang. Keadaan berubah manakala pesanan batik banyak yang datang. Para ibu, yang juga petani, akan berjibaku menyelesaikannya.
Dicelup Berulang
Berlokasi sekitar 30 km dari kota Cirebon, Kampung Batik Ciwaringin mudah disambangi. Dari arah Cirebon sekitar 45 menit. Dibandingkan batik Trusmi, batik Ciwaringin memiliki keistimewaan. Kebanyakan batik Ciwaringin merupakan batik tulis, motifnya pun tidak umum serta memiliki warna batik yang lembut karena dihasilkan dari pewarna alami. Sekilas orang awam menilai batik Ciwaringin pudar atau usang.
"Tetapi itulah kekhasan batik Ciwaringin," kata Fathoni menegaskan.
Pewarnaan batik Ciwaringin dihasilkan dari beragam tanaman yang diolah terlebih dulu, di antaranya batang mangga, indigo, kulit rambutan, serta kulit jengkol. "Batang pohon mangga atau kulit rambutan direbus hingga lebih dari 7 jam sampai warna kulit tersebut muncul, kemudian disaring lalu dimasukkan ke wadah. Usai itu, barulah pencelupan batik dilakukan secara berulang," jelasnya.
Masing-masing tanaman tersebut menghasilkan warna berbeda. Kulit jengkol misalnya, akan menghasilkan warna cokelat. Batang mahoni bisa menghasilkan warna cokelat, mangga menghasilkan warna hijau.
Meski batik Ciwaringin sudah dikenal, namun pembeli masih sangat terbatas. Mereka kebanyakan berasal dari luar negeri atau konsumen lokal kelas atas. Hal ini, menurut Fathoni, karena harga batik Ciwaringin relatif mahal, bahkan bisa mencapai jutaan rupiah per lembarnya. Akan tetapi, dibandingkan dengan proses pembuatannya yang lama, harga yang ditawarkan rasanya pantas.
Proses yang lama karena kain batik harus dicelup dengan pewarna alami secara berulang untuk menghasilkan warna yang pas. Bahkan, untuk menyelesaikan satu lembar kain batik tulis membutuhkan waktu seminggu. "Itupun jika warna yang digunakan tidak banyak dengan motif sederhana," tambah Fathoni.
Jadi, batik Ciwaringin istimewa bukan hanya karena prosesnya butuh waktu lama, tetapi juga motifnya yang unik. Motif batik Ciwaringin mengandung makna yang menjadi pedoman masyarakat blok tersebut. Motif yang banyak dibuat perajin antara lain motif batik pringsedapur, tebu sekeret, sapu jagat dan lain-lain.
Motif batik sapu jagat mengandung makna kebersamaan, motif pecutan bergambar daun panjang berarti pemberi semangat. Motif batik tersebut diharapkan dapat menjadi pegangan bagi penduduk desa dan masyarakat secara umum.
Menurut Fathoni, untuk mengenalkan motif batik Ciwaringin kepada generasi muda para perajin membuka kelas membatik. "Terutama untuk remaja blok Kebon Gedang yang secara rutin dilatih membatik dengan pewarna alami sebab mereka merupakan generasi perajin batik masa mendatang," tegasnya.
Mengembalikan Kejayaan Batik Ciwaringin
Konon, batik Ciwaringin sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Sebagian besar perajin juga sudah menggunakan pewarna alami. Mereka terbiasa memanfaatkan batang pohon yang ada di sekitar tempat tinggal lalu mengeringkannya, dan meramunya sehingga menghasilkan warna-warna tertentu.
Namun sejak pewarna kimia diperkenalkan kepada perajin, kebiasan membatik dengan pewarna alami ditinggalkan. Dengan alasan penggunaan pewarna kimia lebih praktis, cepat, sedangkan pewarna alami membutuhkan waktu yang lama untuk memprosesnya.
Tetapi sejak 2009, saat UNESCO menetapkan batik sebagai mahakarya warisan budaya milik Indonesia, terjadilah perubahan dalam pengerjaan batik. Pengakuan internasional ini membuat batik semakin dikenal masyarakat dunia. Hal ini membawa dampak besar bagi pelaku usaha batik. Kebutuhan pasar dunia akan batik pun meningkat.
Namun mereka menginginkan batik yang menarik dengan proses alami di antaranya dengan penggunaan pewarna yang bersumber dari alam. Mereka beranggapan bahwa batik dengan pewarna kimiawi bukan saja membahayakan tubuh tetapi lingkungan.
Untuk itulah, di tahun 2009 sekitar 40 orang perajin diikutsertakan dalam pelatihan yang didukung oleh Kamar Dagang Indonesia dan Jerman. "Kami diajarkan memanfaatkan kulit jengkol menjadi pewarna," ujar Suja'i, pengurus Koperasi Batik Tulis Ciwaringin, Anugerah. Menurutnya, banyak bahan alami yang jika diolah dengan baik bisa menghasilkan warna menarik.
Jadi Pilihan
Dilihat dari sisi ekonomis, pewarna batik alami lebih murah, tinggal memanfaatkan tanaman yang ada di sekitar rumah penduduk. Penggunaannya pun bisa berulang. Artinya jika pewarna kimia hanya satu kali pakai, pewarna alami dapat dipakai berkali-kali tanpa merusak warna yang dihasilkan sebelumnya.
Dari pelatihan dan penyuluhan tersebut perajin disadarkan pula tentang bahaya limbah batik bahan kimia bagi tubuh. Melalui pelatihan itu perajin memiliki keterampilan. Suja'i, yang juga perajin batik mengaku sudah lama meninggalkan pewarna kimia pada batiknya.
"Para perajin batik sering tidak menggunakan sarung tangan ketika melakukan proses pewarnaan, sementara warna yang mereka gunakan dari kimia. Jika itu terus menerus dilakukan kemungkinan terburuk akan terkena kanker kulit," jelasnya. Belum lagi limbah pewarna kimia mengakibatkan kerusakan ekosistem. Limbah batik yang dibuang secara sembarangan akan menyerap ke sumur-sumur penduduk dan mengancam kehidupan mereka nantinya.
Menurutnya, sudah sepatutnya batik Ciwaringin kembali ke asalnya. Pelestarian batik Ciwaringin bukan hanya pada motifnya tetapi juga pada proses pewarnaannya. Suja'i menegaskan batik Ciwaringin diharapkan bisa kembali berjaya seperti masa silam. Untuk itu dibutuhkan kerja sama semua pihak, baik perajin, pemerintahan daerah, dan masyarakat agar batik tulis Ciwaringin semakin populer.
Tidak hanya itu, Suja'i juga berharap batik tulis Ciwaringin bisa menjadi roda penggerak kehidupan masyarakat blok kebon Gedang. "Jadi, kaum ibu di sini tak perlu lagi menjadi TKI keluar negeri. Sebab menjadi perajin batik tulis Ciwaringin dapat dijadikan mata pencaharian yang layak."
Tren menjadi TKI di luar negeri kini bukan lagi pilihan mencari uang sebagian penduduk. "Sejak tahu batik tulis Ciwaringin punya nilai jual, mereka akhirnya memilih tinggal di kampung melanjutkan tradisi lelulur."
Maya Dewi Kurnia
KOMENTAR