Hari lepas dan berjalan begitu menyenangkan. Aku menjalani masa sekolah dengan ketekunan. Bergaul bersama teman-teman merupakan kisah mengesankan semasa sekolah. Salah satunya ketika menimba ilmu di SMS BPK Penabur yang terkenal dengan kedisiplinannya itu.
Saking disiplinnya, kami tidak boleh telat datang semenit pun. Jam 06.45 kami sudah harus masuk kelas karena ada Renungan Pagi. Jika telat, kami pasti mendapat hukuman. Yaitu, selama seminggu mesti datang jam 06.30. BIla dalam masa hukuman itu telat lagi, maka hukumannya ditambah seminggu lagi. Aduh... Susah, kan? Aku pun pernah telat dan menerima hukuman itu. Biasanya, sih, aku telat gara-gara kelamaan dandan. Hehe..
Pernah, lho, Chandra teman sekelasku tetap dihukum meski hanya telat semenit. Dia protes kepada guru, "Bu, saya kan hanya telat sebentar saja." Dengan tenang Bu Guru menjawab, "Chandra, kalau pintu sorga sudah ditutup, kamu tetap tidak boleh masuk." Aku mengerti, kedisiplinan itu memang penting dan menjadi bekal kami untuk meraih sukses.
Perut Mulas
Orangtua memberi kebebasan bagiku untuk meniti langkah. Mereka mendukungku masuk Akuntansi, Institut Bisnis Indonesia, selepas masa SMA. Aku pun menjalani masa kuliah dengan serius. Itu sebabnya, nilaiku selalu bagus. IPK-ku 3,69 dengan hanya sekali dapat nilai C. Aku pun sempat menjadi asisten dosen sejak semester 3-6. Tak heran, aku lulus tepat waktu yaitu 4 tahun.
Namun, perjalanan waktu membuat cita-citaku menjadi akuntan berbelok. Semua berawal ketika tahun 2004 itu, aku ikut lomba Menuju Layar Liputan 6 yang diselenggarakan SCTV. Ini semacam kompetisi untuk menjaring bakat pembawa berita. Aku memang senang ikut lomba. Adrenalin menjadi naik ketika tampil di depan publik.
Soal lomba ini, aku sudah memulainya sejak SMA. Aku sering ikut lomba berbahasa Inggris antar SMA, namanya News Reading Competition. Selalu saja aku meraih juara. Jika enggak juara satu, ya nomor dua. Pesertanya banyak juga lho, sampai puluhan. Lomba ini kerap diadakan berbagai universitas.
Nah, kebiasaan ikut lomba mendorongku untuk menjajal lomba pembawa berita. Namun kali ini motivasiku adalah ingin meraih hadiah utamanya. Wah, bila dapat sepeda motor lumayan juga, kan?
Awalnya enggak kebayang bagaimana acaranya. Saat mendaftar, barulah ketahuan materi acaranya. Aku mesti berbusana rapi dan mendapat informasi seputar lomba. Wah, ternyata pesertanya banyak sekali, hampir 500 orang. Para peserta mesti baca berita dan ditanya tentang pengetahuan umum. Babak demi babak kulalui, sampai lolos 10 besar. Kami menjalani karantina selama 3 hari dan mendapat berbagai materi pelatihan. Antara lain reportase lapangan.
Begitulah, aku tampil hingga babak final. Tugas peserta membacakan berita, kemudian reportase lapangan. Salah satu materinya tentang kebakaran. Ada tanya jawab, seolah-olah peserta benar-benar tengah melakukan liputan kebakaran. Tak disangka, aku meraih juara pertama. Orangtuaku yang ikut menemani selama lomba, tentu ikut bahagia. Lantas, hadiah utamanya langsung kujual. Ha ha ha...
Lucunya, meski sudah sering ikut lomba, tetap saja aku stres menjelang tampil di layar kaca. Bila sudah begitu, perut jadi mulas. Rupanya inilah asyiknya. Bagaimana bisa lepas dari masa tegang dan bisa tampil dengan baik.
Ditemani Anjing Liar
Fase lomba terus berlanjut. Para juara masing-masing kota dikumpulkan untuk memperebutkan juara nasional. Hadiah utamanya mobil. Wah, sangat menyenangkan bila berhasil meraihnya. Sayang, aku enggak berhasil jadi juara. Aku hanya masuk lima besar.
Dalam rangka lomba ini, lagi-lagi kami dikarantina selama 10 hari. Seminggu selesai karantina, aku langsung sidang skripsi. Kelabakan juga. Namun, aku bisa melewatinya dengan baik. Lulus kuliah tahun 2004, aku ditawari untuk bergabung dengan SCTV. Awalnya aku putuskan untuk coba-coba dulu. Andai saja enggak cocok, aku akan kembali ke jalur akuntansi. Ternyata, pekerjaan menjadi jurnalis teve begitu menyenangkan. Aku sangat menikmatinya.
Mulailah aku menjadi reporter dengan tugas pertama di desk kriminal. Hari pertama tandem bersama senior, berikutnya mesti jalan hanya bersama Mas Dwi Guntoro, sang juru kamera yang sudah senior. Aku selalu berpasangan dengan Mas Dwi. Dialah yang membimbingku bagaimana menjalankan tugas reportase, antara lain menjalin relasi dengan narasumber.
Seram juga ketika pertama kali meliput kasus pembunuhan. Aku mesti ke kamar mayat RS Cipto Mangunkusumo untuk mengecek keadaan korban. Saat itu ada korban pembunuhan dengan luka di kepala dan leher. Aku sempat ikut otopsi. Lebih seram lagi, suatu saat kami telat sampai lokasi. Sampai di kamar mayat, suasana sudah sepi. Apalagi, hari sudah malam. Teman jurnalis lain sudah meninggalkan lapangan.
Bayangkan, malam-malam di kamar mayat. Semula bisa tenang, apalagi ada Mas Dwi dan penjaga kamar mayat yang menemani. Namun, saat aku sibuk mencatat data-data, tiba-tiba Mas Dwi menghilang. Si penjaga kamar mayat juga enggak kelihatan.
Wah, seram juga. Ke mana mereka? Pelan-pelan aku meninggalkan kamar mayat. Di luar pun sepi. Mas Dwi enggak tampak juga. Aku langsung masuk mobil. Tiba-tiba saja, "Wuaaaa....!!!" Terdengar teriakan dari arah kursi belakang mobil. Aku sempat pucat pasi, tapi disusul tawa Mas Dwi. Aduh, Mas Dwi berhasil ngerjain aku. Ha ha ha...
Namun, Mas Dwi merupakan teman liputan yang asyik. Kami pernah bersama-sama liputan Gunung Talang meletus di Kabupaten Solok (Sumbar). Kisahnya seperti pertualangan. Tanpa banyak perhitungan, kami sepakat harus dapat gambar kawah. Padahal, status gunung masih 'awas'. Artinya, keadaan masih bahaya.
Gunung bisa meletus sewaktu-waktu. Aku dan Mas Dwi nekat mendaki. Dalam bayanganku, kayak naik ke Puncak. Maklum aku bukan termasuk pencinta alam, tak paham kondisi gunung. Ternyata, medannya susah banget. Ditambah lagi, kami tidak bawa bekal cukup. Intinya, nekat!
Kami cukup beruntung karena bertemu tiga remaja yang juga mau mendaki. Jadi kami naik berbarengan. Makin ke atas, medan kian sulit. Tubuhku mulai lemas. Pokoknya gila, deh. Karena bekal enggak cukup, kami akhirnya makan tomat atau srikaya yang kami temukan di jalan. Sampai di puncak, saking hausnya aku pun minum sepuasnya di sumber mata air.
Tubuhku benar-benar sudah lemas. Bagaimana caranya turun? Tiga remaja tadi berbaik hati menggendongku secara bergantian. Total, 10 jam lebih kami menempuh perjalanan naik-turun gunung. Tentu, lebih cepat perjalanan turun.
Anehnya, sepanjang perjalanan kami ditemani seekor anjing liar. Dia selalu mengikuti kami mulai saat mendaki sampai turun. Ketika kami istirahat, dia juga ikut berhenti. Anjing lucu itu baru pergi setelah kami selamat sampai di mobil.
Ya, setahun lebih di SCTV, aku lalu pindah ke Anteve selama 2,5 tahun, sampai akhirnya kini bergabung dengan TVOne sejak 2008. Awalnya aku jadi asisten produser untuk acara Kabar Pasar. Dari jurnalis lapangan, kini aku lebih konsentrasi ke Apa Kabar Malam.
Hidup Seimbang
Tentu aku sangat menikmati profesiku. Hanya saja, aku sekarang mulai membagi konsentrasi antara pekerjaan dan keluarga. Aku termasuk pengantin baru, lho. Pada 8 Oktober tahun lalu aku menikah dengan Kevin di Ubud, Bali. Suamiku bekerja di bidang IT. Setelah menikah, aku memilih mandiri dan pisah rumah dari orangtua. Kami pun tinggal di kawasan Pluit.
Kami pacaran 1,5 tahun. Awalnya, sih, dikenalkan teman. Ketika pertama kali bertemu, rasanya males kenalan. Habis dia sebaya denganku. Aku kan ingin pasangan yang usianya 4-5 tahun di atasku. Lelaki yang dewasa dan bisa membimbingku. Ternyata aku salah duga. Pertemuan di sebuah kafe di Senayan City itu amat mengesankan. Kesan pertama, dia sangat baik dan tampak dewasa. Rupanya, dia memang lelaki yang cocok untukku. Tentu, dia memahami pekerjaanku. Salah satu yang kukagumi dari Kevin, dia juga tipe pekerja keras. Dia sendiri yang membangun usaha IT sampai bisa berjalan dengan baik.
Setelah menikah, seperti Mama dulu, aku suka memasak. Aku sendiri yang menyiapkan menu makanan untuk Kevin, juga untuk bekalku ke kantor. Sejak dulu aku memang selalu membawa bekal, jarang sekali makan di luar. Kebiasaan itu terus terbawa sampai sekarang. Ya, hidupku kini makin seimbang.
Henry Ismono
KOMENTAR