Kedua, ketidakcocokan dengan mertua. "Mertua merasa tidak diperhatikan anak laki-lakinya atau istri merasa diabaikan suami, karena suami lebih memerhatikan ibunya." Ketiga, luka batin. Contohnya, suami atau istri pernah berselingkuh. "Kejadian pahit itu berusaha dilupakan, tapi tidak bisa. Jika sedang bertengkar, luka lama itu kembali terbuka."
Keempat, perbedaan agama. "Awalnya tidak dipermasalahkan karena saling memahami. Setelah anak makin besar, malah tidak mendapat dukungan dari pasangan. Atau, baru mendapatkan nilai dari agama yang dianutnya yang ternyata makin melebarkan perbedaan tersebut," papar Tara.
Kelima, kekerasan dalam rumah tangga yang berlaku bagai lingkaran setan. Ketika kekerasan pertama terjadi, ada kesadaran dalam perempuan bahwa dialah yang memancing kemarahan suami. "Perempuan selalu diajarkan mengalah, menahan emosi, dan sabar. Lama-lama lingkaran makin cepat berputarnya dan perempuan makin terjebak di dalam lingkaran itu."
Komponen Segitiga
Masalah rumah tangga ini bisa dihindari atau dikurangi selama pasangan melakukan tiga komponen yang diibaratkan sebagai segitiga sama sisi. "Jika salah satu komponen tidak ada, pernikahan pun akan goyang," papar Tara. Komponen pertama adalah komitmen pernikahan. Jika komitmen mulai berkurang, berarti visi, misi, dan tujuan pernikahan harus diperkuat.
Kedua, passion atau gairah harus tetap ada. Kalau salah satu melihat pasangannya tidak menarik berarti passion-nya hilang. "Hidupkan dengan bulan madu kedua dan coba gali kembali apa yang dulu membuat Anda tertarik pada pasangan."
Ketiga, intimacy atau kedekatan emosional, komunikasi yang terbuka, saling memahami, ada bagi satu sama lain, dan waktu berkualitas yang lebih bermanfaat. Bila tak suka pasangan blakblakan, katakan sejujurnya.
Terakhir, sebelum memutuskan perceraian, Tara menganjurkan setiap pasangan memikirkan efek positif dan negatif. Pertimbangkan pula dengan akal sehat. "Tapi, kalau pernikahan sudah tidak sehat, kenapa harus dipertahankan? Meskipun demi anak, apakah anak akan hidup sehat di lingkungan keluarga yang tidak sehat?" tegas Tara.
Tahun Kritis Pernikahan
Tahun pertama pasangan masih dalam suasana bulan madu. Apa saja yang dilakukan pasangan, masih banyak "stok" maaf dan passion-nya pun masih tinggi. Tapi, di tahun ketiga pernikahan, keburukan pasangan mulai kentara. "Situasi makin pelik karena sudah ada anak. Belum lagi kebutuhan makin meningkat. Tadinya berdua saja terasa lebih mudah, tapi makin sulit setelah ada anak."
Nah, begitu pasangan suami-istri bisa melewati tahun ketiga, keempat, dan kelima, harusnya pernikahan sudah bisa berjalan mulus. "Kecuali ada masalah pinsipil yang tidak bisa diselesaikan. Belasan tahun kemudian masalah itu bisa muncul lagi karena belum tuntas. Jika masalah besar saja tidak selesai, masalah kecil jadi pemicu masalah besar tadi."
Khusus bagi pasangan bermasalah tadi, masa kritis bisa muncul di usia pernikahan 25 tahun ke atas. "Di mana orang ingin bahagia, sukses, mandiri, dan masih produktif."
Noverita K. Waldan
KOMENTAR