Pernahkah Anda melihat anak-anak usia balita yang butuh waktu lama beradaptasi dengan lingkungan di sekolah atau playgroup-nya? Atau, anak-anak yang masih saja menangis, padahal ia sudah sekian minggu masuk PG? Barangkali, anak-anak ini memang belum siap secara emosional.
Menurut Elly Nagasaputra, MK dari www.konselingkeluarga.com, PG memang bukan sebuah keharusan bagi perkembangan seorang anak. Pada intinya, di PG, seharusnya sisi emosional anak lebih dipersiapkan dibandingkan sisi kognitifnya. "Supaya anak bisa bergaul, mau berbagi, bisa mengikuti aturan, dan sebagainya," jelasnya.
Belajar Bergaul
Tentu saja, ada dampak positif memasukkan anak ke PG. Bagi anak-anak yang sudah matang secara emosional dan usianya sudah memadai, PG akan membantunya belajar dengan skala yang lebih luas.
Contohnya, ia hanya berdua dengan saudara atau pengasuhnya saat berada di rumah. Tapi, di PG, ia bisa bergaul dengan banyak anak yang memiliki karakter berbeda di PG. Istilahnya, ada anak yang jahat, ada anak yang baik, dan sebagainya. Alhasil, ia mulai melihat bahwa dunia itu beda.
Dampak positif berikutnya, PG mempersiapkan anak masuk ke dunia yang lebih luas, yaitu sekolah dasar (SD). Memasuki SD bagi anak kecil merupakan sebuah pengalaman yang luar biasa. Ia akan melihat dan bertemu dengan orang yang lebih banyak lagi. "Bahkan, istilahnya, ia harus menghafal pintu kelas. Nah, kalau sudah punya pengalaman di PG, ia akan terbantu," kata Elly.
Membangun Rasa Percaya
Selanjutnya, anak akan belajar memercayai orang di luar lingkungan yang sudah ia kenal sebelumnya. Kalau awalnya hanya percaya pada ayah, ibu, atau neneknya, sekarang ia harus percaya pada teman, guru, satpam, dan sebagainya.
"Ia harus belajar membangun trust (rasa percaya) karena kemampuan ini sangat penting bagi masa depannya," lanjut Elly. Banyak orang yang sangat tidak bisa menaruh rasa percaya terhadap orang lain. Bahkan ia tidak bisa memercayai pasangan hidupnya dan akhirnya bercerai. Sebaliknya, anak juga akan belajar bahwa terlalu percaya kepada orang lain juga tidak baik.
Dari aspek kognitif, di PG, otak anak akan menyerap banyak hal-hal baru. Meskipun apa yang ia serap tidak langsung keluar, tapi suatu saat pasti akan muncul. Contoh, ketika di TK A, aspek kognitif anak terlihat kurang menonjol, tapi kemampuan kognitifnya tiba-tiba sangat menonjol di TK B. "Ditanya apa saja bisa. Ini adalah buah dari apa yang ditabur sebelumnya," ujar Elly.
Aspek Negatif
Selain positif, aspek negatifnya juga ada. Yakni jika orangtua selalu berpatokan pada usia biologis dan tidak memperhitungkan kematangan psikologis anak. Hal ini bisa menimbulkan pengalaman traumatis. Misalnya, setiap kali dipanggil guru, ia akan langsung pucat sebab anak "diceburkan" padahal ia belum siap.
Dampak negatif juga bisa muncul seandainya orangtua salah memilih PG. Namanya saja playgroup, yaitu place for playing atau tempat untuk bermain. Komponen kognitif seharusnya cuma pengenalan dan bukan sebagai materi pokok. "Harusnya 80 persen bermain, 20 persen belajar. Kalau yang terjadi sebaliknya, kasihan anak. Bisa jenuh belajar terus."
Orangtua Sibuk
Jadi, jika orangtua bisa berperan penuh dalam mengajarkan dan membantu membimbing pengembangan emosional anak, PG tidak terlalu diperlukan. Dari aspek kognitif, anak-anak usia SD di Indonesia diharapkan minimal bisa hitung dan baca, mengenal huruf dan angka. "Orangtua bisa, kok, mengajarkan anak untuk mengenal huruf dan angka."
Di kota besar, PG dipilih karena orangtua sibuk bekerja, sehingga tidak mempunyai waktu dan energi untuk membekali anak dengan pengajaran emosional dan pengenalan aspek kognitif tadi. "Pulang kerja, orangtua sudah capek, maunya cuma bermain sama anak. Akhirnya, tanggung jawab itu diambil oleh PG. Dalam kondisi seperti ini, PG memang lebih baik daripada anak tidak disiapkan sama sekali."
Selain itu, kondisi sosial di kota besar sangat individualistis. Anak-anak kita, misalnya, sangat jarang bermain bersama sepupu atau tetangga. "Temannya hanya kakak, adik, atau malah gadget. Ketika itulah, orangtua memasukkan anak ke PG supaya bisa bersosialisasi dan bertemu dengan anak seumur," kata Elly. Kondisi ini tentu saja berbeda dengan keluarga yang tinggal di kota kecil, di mana anak-anak masih mempunyai waktu bermain dan bertemu teman-teman sebaya.
Tidak Perlu?
Kesimpulannya, ketika orangtua bisa mempersiapkan anak dengan matang, seharusnya PG tidak diperlukan. "Karakter dan temperamen anak berperan. Tidak selalu anak yang masuk PG pasti lebih siap dibanding yang tidak," ujarnya. Terkadang, ada anak yang masih menemukan masalah. Misalnya, rasa tidak nyamannya masih tinggi, gampang menangis melihat lingkungan yang berbeda, dan sebagainya.
Dalam banyak kasus, orangtua memasukkan anak-anaknya yang masih terlalu muda ke PG. "Kasihan mereka dan malah bisa mengalami goncangan kejiwaan yang mendalam," ujar Elly. Akibatnya, anak akan menangis sampai 2 - 3 minggu karena menganggap sekolah adalah tempat yang sangat mengerikan dan bertemu dengan teman sekolah membuatnya tidak nyaman.
Penyebabnya? Tingkat kedewasaan secara mental belum ada. "Ingat, masing-masing anak itu unik, tidak bisa dipatok usia biologis. Anak butuh kesiapan mental. Kalau belum siap, jangan dipaksakan."
Memilih Playgroup
1 Orangtua sebaiknya melihat kondisi anak terlebih dulu. Lakukan analisis sederhana yang meliputi apakah anak sudah benar-benar siap masuk PG, baik dari sisi emosional maupun fisik. "Ada, lho, orangtua yang memasukkan anaknya ke PG, padahal anaknya jalan saja belum lempeng," kata Elly.
2 Lihat dulu tujuan orangtua memasukkan anak ke PG. Jika tujuannya agar anak pintar menulis dan membaca, sebaiknya pilih PG yang unsur belajarnya banyak. Tapi, kalau orangtua hanya ingin mempersiapkan anak secara emosional, pilih PG yang unsur bermainnya banyak.
3 Jangan tergiur oleh nama besar PG, misalnya lisensi dari luar negeri. Lihatlah siapa yang mengajar. Apakah para pengajarnya mendapat pelatihan yang memadai? Apakah mereka memiliki jiwa untuk mengajar anak-anak usia PG? Pasalnya, ada guru PG yang mengajar tanpa hati, tidak menggunakan bahasa anak, dan menuntut anak secara berlebihan.
4 Lihat juga kondisi keamanan dengan memilih PG yang aman, termasuk tempat bermain, bangku, dan tempat lainnya.
Pentingnya Sosialisasi
Belajar keterampilan sosialisasi di sekolah dan di rumah sangat penting bagi anak. Apalagi secara alami, anak bersifat egosentris atau memikirkan diri sendiri sebagai pusat dunia mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan pengembangan dan pelatihan yang mengajarkan anak-anak untuk memikirkan orang lain serta diri mereka sendiri.
Agar anak-anak sukses dalam masyarakat, mereka harus belajar berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang sehat, positif, dan produktif. Orangtua juga harus mendorong interaksi sosial, memonitor keterampilan sosial, dan mengajarkan cara-cara sehat untuk berinteraksi dengan anak-anak lain dan orang dewasa.
Sebaliknya, anak-anak dengan kemampuan sosialisasi yang buruk cenderung lebih mungkin mengalami penolakan dari lingkungan. Mereka juga lebih mungkin menunjukkan perilaku agresif atau kekerasan, sulit dapat mengatur sendiri perilaku mereka, dan mengalami kesulitan meminta atau menerima bantuan dari orang lain.
Hasto Prianggoro
KOMENTAR