Katering Pe'De itu, kependekan dari apa, sih?
Oh, itu singkatan dari nama anak saya, Puspa Aisyah D'arni. Kami baru dikaruniai momongan setelah lima tahun menikah. Jadi Icha (10), nama panggilan anak kami, adalah buah hati yang sudah lama kami nantikan kelahirannya.
Sejak kapan mulai buka usaha katering?
Sekitar 2003. Ceritanya, saya memutuskan berhenti dari pekerjaan yang sudah 10 tahun saya tekuni di perusahaan taksi. Gara-garanya, saya amat berat meninggalkan anak tunggal kami, Icha. Apalagi, waktu masih bayi Icha tidak bisa ditinggal karena tidak mau minum susu formula. Dan ternyata, setelah setahun lamanya "hanya" menjadi ibu rumah tangga, tinggal di rumah saja, saya mulai bosan. Mungkin sudah terbiasa kerja, ya. Akhirnya, saya menyibukkan diri mengikuti berbagai kursus memasak.
Kurus masak di mana?
Banyak. Di antaranya, saya pernah jadi muridnya Rudy Choirudin dan Nila Chandra. Padahal, dulu waktu masih bekerja, saya jarang memasak. Mungkin ini yang dinamakan bakat, ya. Dari pada ilmu belajar memasak jadi percuma, saya punya ide untuk buka warung. Kan, hasilnya bisa dinikmati keluarga juga. Apalagi, teman-teman kursus saya rata-rata sudah punya restoran atau katering.
Saat memulai usaha, warung kami cuma mungil saja di pinggir jalan kecil di daerah Warung Buncit, Jakarta Selatan. Setiap pagi, jalan di sana macet. Tapi justru di situlah keuntungan saya.
Maksudnya?
Begini, tiap pagi saya memasak risoles. Selesai masak, pegawai saya yang mengantarkan ke warung di seberang rumah kontrakan kami. Nah, bersaman dengan itu lalu-lintas biasanya tengah macet. Orang-orang yang sedang kena macet itu lantas membuka kaca mobilnya saat pegawai saya melintas. Para pengendara mobil itu bertanya kepada pegawai saya, sedang membawa barang apa? Rupanya para pengendara mobil itu ingin mencicipi risoles saya untuk mengganjal perut. Mungkin mereka belum sempat sarapan dari rumah, ya.
Karena risolesnya masih hangat, mereka jadi suka. Sejak itu, banyak yang mampir ke warung saya yang kecil itu buat beli risoles. Padahal, pertama kali membuka usaha, modal saya cuma Rp 50 ribu, lho. Tapi cukup untuk bikin beragam menu.
Lalu?
Karena dagangan saya makin laris, saya mengontrak warung di sebelah yang lebih besar. Sistem layanannya saya bikin jadi warung makan prasmanan. Tiap jam makan siang, warung saya dipenuhi orang kantoran yang mengantre makan. Sejak itu keberadaan warung saya mulai tersebar dari mulut ke mulut. Mulai banyak orang yang memesan katering untuk acara di kantornya atau arisan.
Ditambah lagi, suami saya sering memotret menu-menu atau tumpeng pesanan, lalu fotonya dipajang di warung disertai nomor telepon. Lucunya, kebanyakan pembeli saya justru dari daerah yang jauh dari rumah, bukan dari sekitar lingkungan rumah atau warung saya.
Siapa pelanggan pertama katering Anda?
Perusahaan di mana saya pernah bekerja, yaitu perusahaan jasa taksi Blue Bird. Kalau sedang ada training, perusahaan itu minta saya menyediakan kateringnya. Sebelumnya, saya memang sering mengundang bekas teman-teman kerja untuk makan di rumah. Dari situ mereka menyarankan untuk buka usaha. Banyak juga dari mereka yang pesan katering untuk makan siang.
Lalu?
Sayangnya, warung yang saya kontrak hanya diizinkan hingga 3 tahun, padahal saya berharap bisa 10 tahun. Asal tahu saja, kami sudah merenovasi dapur rumah itu, sengaja diset untuk bisnis katering. Akhirnya, kami terpaksa pulang ke rumah kami di Bogor. Namun, karena telanjur sudah tanda tangan kontrak dengan pelanggan, katering tetap kami antar dari Bogor.
Seperti membangun bisnis dari awal lagi, dong?
Iya. Ternyata, tinggal di rumah Bogor juga membosankan. Apalagi, Icha setiap hari harus sekolah di Menteng, Jakarta. Setelah dua tahun di Bogor, kami memutuskan pindah lagi ke Jakarta. Karena tidak punya tempat untuk berjualan, kami berjualan lewat internet. Kami mulai mengumpulkan pelanggan lagi pelan-pelan. Pelanggan yang lama tetap kami layani.
Hasuna Daylailatu / bersambung
KOMENTAR