Bagaimana mendapatkan bahan pewarna alami itu?
Dari alam. Berasal dari pohon kayu, kulit kayu. Atau daun tumbuhan yang terdapat di hutan. Lalu diproses sampai ditemukan warnanya. Untuk mendapatkan pohonnya, harus keluar masuk hutan. Hasilnya, seperti ini. (Asmiah menunjuk botol-botol kecil berisi bahan pewarna alam yang sudah jadi).
Prosesnya cukup lama, ya?
Bukan cuma lama, tapi butuh kesabaran dan ketelitian. Soalnya bahan-bahan pewarna alami biasanya menghasilkan warna yang cenderung muda atau terkesan kusam. Ini berbeda dengan selera oran Melayu di Jambi yang lebih menyukai batik berwarna terang atau ngejreng, istilahnya anak muda.
Untuk menyiasati, kami melakukan pewarnaan berulang-ulang sampai 36 kali untuk setiap kain. Memang jadi lebih repot dan capek, tapi hasilnya sangat mengagumkan. Warna-warna yang kami dapatkan begitu kuat dengan perpaduan yang selaras.
Wajar, ya, jika harga jual batik tulis pewarna alami Jambi jadi relatif mahal?
Memang, tapi harganya tergantung motif dan kerumitan pengerjaannya. Kami menjualnya berkisar Rp 500 ribu hingga Rp 7 juta. Biasanya pembelinya para pejabat atau pengusaha. Tidak sedikit pula para kolektor batik.
(Perbincangan dengan Asmiah terhenti. Ia menerima telepon dari seseorang yang memberitahukan akan ada tamu dari Jakarta yang siap membeli batik karyanya.)
Apa, sih, yang membuat orang ingin memiliki batik tradisional Jambi?
Umumnya karena motifnya yang khas. Ada rasa kebanggaan memiliki batik Jambi yang tidak kalah mutunya dengan batik dari daerah lain. Batik Jawa, misalnya. Sebenarnya peminat batik Jambi masih cukup banyak.
Apa saja yang dilakukan agar Batik Jambi tetap eksis?
(Asmiah terdiam sejenak sebelum memberikan jawaban). Saya tidak mau batik tulis terlupakan. Caranya, bekerja sama dengan Departemen Perindustrian agar tetap diajak mengikuti pameran di berbagai kota. Saya juga bekerja sama dengan para desainer agar menggunakan batik tulis dengan pewarna alami. Misalnya, menyumbang 25 kain batik tulis untuk dipamerkan pada perayaan Ulang Tahun Emas Provinsi Jambi, tahun 2006 lalu.
Biayanya cukup besar, dong?
Sangat besar untuk orang biasa seperti saya. Namun, saya harus berani berkorban dulu, bila ingin membawa batik tulis Jambi ke kancah yang lebih luas. Hingga hari ini saya dan suami, Edi Susanto, bekerja keras dan terus berkreasi mencari pewarna alami dan motif khusus.
Berapa banyak motif yang sudah Anda ciptakan?
Lebih dari 20 motif kreasi saya. Semuanya khas batik Jambi. Di antaranya motif Awan Berarak, Angso Duo, Pauh (mangga) Bulan Sabit, Kaca Piring, Puncung Rebung, Riang-riang. Beberapa batik tulis karya saya telah disimpan sebagai koleksi Horniman Museum and Gardens di London, di Tropenmuseum di Amsterdam, dan di Museum Melayu Singapura.
Bagaimana Anda memenuhi kuota penjualan?
Saya membina belasan perajin batik di sekitar rumah ini. Sebagian membatik di rumah saya, ada juga yang saya beri kain bermotif lalu mereka kerjakan di rumah masing-masing. Saya juga tidak lelah mencari remaja-remaja putus sekolah di Jambi untuk diajari membatik sampai mandiri. Saya ingin mereka bisa membuka usaha batik serupa saya. Dua putri saya, Dita (14) dan Ayu (11), kini juga sudah mulai belajar membatik.
Tumpak Sidabutar
KOMENTAR