Sementara untuk menumbuhkan kepercayaan diri suami yang minder, bisa ditempuh dengan berbagai hal. Di antaranya, memberi kesempatan untuk melakukan kegiatan lain yang menumbuhkan kebanggaan diri. Di lingkungan masyarakat sekitar, siapa tahu ia bisa memegang jabatan tertentu yang positif dan potensial meningkatkan harga dirinya, misal. Atau, beri kesempatan untuk berperan aktif dalam keluarga. Misal, anak ingin tahu lebih banyak tentang komputer, sarankan untuk bertanya pada bapaknya. Sekalipun si ibu tak gagap teknologi, kerendahan hati ini juga akan membuat anak percaya bahwa bapaknya bila melakukan sesuatu yang istimewa dan memberi kebanggaan.
Tak kalah penting, lanjut Tya, jangan membandingkan atau malah memaksakan kesuksesan kita pada suami. "Setiap manusia seyogyanya bisa meng-organize mana pikiran-pikiran yang harus dikembangkan dan mana yang tidak, mana yang perlu diberi atensi dan mana pula yang tidak." Meski boleh jadi kita mengutarakan perbandingan itu untuk memotivasi atau memacu suami agar sama-sama berprestasi. Soalnya, baik istri maupun suami tak dibenarkan berpikir untuk mengubah pasangan. Justru yang harus dikembangkan adalah sikap menerima pasangan apa adanya. "Kesediaan menerima pasangan apa adanya bisa menjadi perekat hubungan di antara suami-istri."
Istri pun harus bisa mengontrol tindakan-tindakannya dengan tegas-tegas memisahkan perannya di kantor dan di rumah tangga. "Jangan sampai mentang-mentang jadi pimpinan di kantor, lantas bossy di rumah. Karena perannya memang berbeda, maka tugas dan kewajibannya, kan, juga berlainan. Di rumah, ia tetaplah istri pendamping suami."
PENTINGNYA KETERBUKAAN
Harusnya, kata Tya lebih lanjut, kemungkinan munculnya konflik gara-gara istri bergaji lebih tinggi sudah disadari dan dibicarakan sejak awal, bahkan sebelum memutuskan untuk menikah. Dengan begitu masing-masing sudah punya visi bagaimana cara menghadapinya, semisal membuat komitmen-komitmen seputar hal itu. Apalagi bila (calon) istri memang berpendidikan tinggi, memiliki motivasi kuat dan berpeluang maju, sementara karir suami cenderung mentok. Belum lagi kenyataan bahwa wanita kini relatif lebih mudah mencari pekerjaan dibanding pria diberbagai bidang pekerjaan.
Jikapun kesadaran ini baru muncul setelah menikah, pun bukan merupakan kesalahan fatal yang tak bisa dikoreksi karena masih bisa dibicarakan. "Tapi ngomong-nya jangan langsung to the point, meski juga bukan sambil lalu. Melainkan dalam rangka membicarakan hal lain, misal, kala membicarakan pengelolaan pengeluaran." Contoh, "Buat belanja kebutuhan sehari-hari, sebaiknya gaji Mama, deh. Gaji Papa untuk tabungan, kebutuhan mendadak atau keperluan yang membutuhkan dana tak sedikit seperti beli rumah atau kendaraan."
Jika inisiatif untuk ber-sharing dari masing-masing cukup tinggi, kata Tya, biasanya pembicaraan lebih enak dan terbuka. Kalaupun terasa sulit, tetap harus diupayakan pembicaraan serupa. "Jangan pernah merasa lelah untuk mencoba menjalin komunikasi, termasuk mengenali keinginan dan kebutuhan pasangan," anjurnya.
Selain itu, tambahnya, kesediaan masing-masing pihak untuk terbuka mengenai pemasukan dan pengeluarannya juga amat dituntut. Minimal masing-masing tahu berapa kira-kira pemasukan pasangannya. Kendati, "Enggak usah persis detailnya atau tiap bulan harus setor slip gaji." Dengan modal ini, mereka berdua bisa memprediksi pengelolaan ekonomi rumah tangga.
Menurut Tya, bila hal ini sudah dibiasakan sejak awal, meski bergaji lebih tinggi, istri takkan dengan enteng bilang, "Ah, ini uangku, kok! Aku boleh, dong, beli apa saja sesukaku!" Suami pun tak lantas ongkang-ongkang kaki mengandalkan gaji istrinya untuk membiayai rumah tangga mereka, sementara gajinya sendiri lebih sering dikirim untuk membiayai adik-adiknya atau hal-hal lain. "Pola-pola pembelanjaan seperti itu tak bisa dibenarkan dalam relasi suami-istri. Sebab, kecenderungan masing-masing untuk berjalan sesukanya sendiri-sendiri inilah yang menjadi bibit-bibit pertengkaran suami-istri."
Jikapun istri ingin membeli benda-benda yang tak kelewat perlu tapi harganya relatif sangat mahal, seperti parfum dan perhiasan dengan uang gajinya sendiri, boleh-boleh saja asalkan tetap harus dibicarakan dengan suami. Begitu pun bila suami ingin mengirim bantuan untuk siapa pun mesti "seijin" istri
Dimanfaatkan Oleh Suami
Ada, lo, suami yang tahu istrinya bergaji lebih tinggi, lantas memanfaatkannya. Istrinya dibiarkan merogoh kocek untuk menanggulangi pengeluaran keluarga yang harusnya dipikul bersama. Tak heran bila si istri akhirnya kesal dan mempertanyakan, "Lo, peranmu apa sebagai kepala keluarga kalau apa-apa harus aku?"
KOMENTAR