Di bawah terik matahari, Atang (45) sibuk mengumpulkan puing-puing rumahnya yang hancur akibat gempa. Sang istri, Nung Mulyani (43), cuma tercenung di dekatnya. "Rumah kami hancur hanya dalam waktu semenit," tutur Nung sedih.
Nung tidak sendirian. Hampir 90 persen rumah warga Desa Jayapura, rusak. Ada yang hanya retak-retak, tak sedikit pula yang rusak parah Justru rumah panggung terbuat dari anyaman bambu dan papan yang utuh. "Kami sekarang susah, enggak punya tempat tinggal lagi," lanjut Nung yang bersama ratusan warga lainnya mengungsi di tenda pengungsian dekat kecamatan. "Makan seadanya. Belum lagi enggak ada air. Sudah dua hari ini saya enggak mandi," katanya.
Suaminya lalu menambahkan, "Itu hasil dari menabung sedikit demi sedikit. Kalau ada rezeki, beli batu bata 100 buah. Ada uang lagi, beli material lainnya. Bikin rumahnya juga sendiri. Tiap sore, habis pulang kerja, bangun sedikit demi sedikit. Memang, sih, karena dana terbatas, tulang-tulang rumahnya kurang kuat." Bertahun-tahun Anang membangun istananya dan hanya semenit, hancur berantakan.
Saat buka puasa tiba, para pengungsi ini berbuka dengan makanan seadanya. Neneng (38) dan kakaknya, Dedeh (40), makan dengan lahap. "Cukuplah. Namanya saja keadaan darurat. Kami juga sahur bersama, berdesakan dalam satu tenda. Habis, bagaimana lagi? Rumah sudah hancur. Pasti nanti Lebaran kami masih di tenda."
Henry Ismono
KOMENTAR