LHL mendorongku dari anak tangga tempatku berdiri saat itu, menampar wajah, dan menonjok dahiku. Rambutku dijambaknya hingga mengenai lantai lalu aku diseret dari ruang tamu hingga ke dapur.
Setelah amarahnya reda, ia baru memohon maafku. Aku pun memaafkannya karena ia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Saat itu aku mengalami syok yang teramat sangat dan memar di beberapa bagian tubuh.
Hamili Mantan Istri
Janji tinggal janji. Sejak itu LHL justru semakin sering memukuliku. Sekecil apa pun kesalahan yang kulakukan, ia pasti menghajarku. Yang lebih gila lagi, ia tidak akan berhenti memukul kalau aku belum berteriak minta ampun. Dan anehnya, sehabis memukul, ia lebih semangat di ranjang.
Selain itu, ia juga sering dengan sengaja mencari-cari kesalahanku agar bisa berselingkuh di belakangku. Seperti saat kami berencana mencetak foto di sebuah tempat (10 Mei 1998), di antara foto yang akan dicetak terselip foto seorang temanku, Rosa. Sebenarnya, kan, mudah saja bagi kami untuk menyingkirkan foto itu, tapi ia malah marah-marah, menendang, dan menamparku.
Bulan September, datang kejutan baru. Mantan istrinya, Tina, datangi rumah kami. Ia mengaku tengah hamil anak LHL. Jelas aku kaget setengah mati. Saat aku dan keluarganya meminta penjelasan, dengan tegas LHL mengatakan, anak dalam rahim Tina bukan anaknya. Saat itu, ayah LHL yang sedang marah besar menghardiknya, "Kalau ternyata bayi itu adalah anakmu, saya sumpahi pesawat yang kamu kendarai jatuh!"
Beberapa hari kemudian, karena takut sumpah ayahnya terjadi, diam-diam LHL keluar dari perusahaan penerbangan tempatnya bekerja.
Seharusnya itu bisa jadi petunjuk bagiku bahwa janin yang dikandung mantan istrinya adalah benar anaknya. Tapi saat itu logikaku sudah dibutakan oleh cinta.
Sejak tak jadi pilot, LHL sempat menganggur selama 4,5 tahun. Selama itu pula aku membantu perekonomian keluarga dengan cara berjualan nasi kuning dan lainnya di sekitar rumah kontrakan kami di Buncit. Bukannya aku tidak mampu kerja kantoran, hanya saja LHL tidak menginzinkan. Sekalinya diizinkan, ia memberi peraturan yang membuat aku tidak leluasa bekerja. Misalnya, tidak boleh berangkat ke kantor pagi sekali atau paling telat sudah harus ada di rumah pukul 19.00. Lewat dari itu, ia tidak akan mengizinkanku masuk ke rumah.
Karena memang penghasilan jualanku tidak seberapa, orangtuanya ikut membantu membayar uang kontrakan kami dan orangtuaku membayar kebutuhan sehari-hari kami.
Kendati tidak bekerja, bukan berarti ia absen mengasariku dan absen meneruskan kebiasaan selingkuhnya. Silvia, Ani, dan Bella, hanyalah beberapa nama dari sekian perempuan yang pernah diajaknya berkencan. Kepada semua perempuan itu, ia mengaku bernama Revan dan sudah bercerai denganku. Betapa pedihnya hatiku. Setiapkali kutanyakan soal perselingkuhannya, ia selalu marah dan memukuliku seperti binatang.
Dipaksa Aborsi
Tahun 2000, dokter menyatakan aku positif hamil. Sejak anak pertamaku lahir, Mariska Lumintaintang (11), aku memang sangat mengharapkan anak ini. Tapi bukannya ikut berbahagia bersamaku, LHL malah mengamuk. Berkali-kali aku dipukulnya dan yang paling menyakitkan hatiku, ia menendang perutku keras sekali agar anak yang ada dalam kandunganku mati! Tidak mempan, aku pun dipaksanya menggugurkan kandungan dengan alasan dia tidak mau punya anak lagi karena anaknya sudah banyak.
Ester Sondang
KOMENTAR