Paginya (17/7), Ratna bingung melihat suaminya yang sudah bersiap-siap berangkat kerja karena dipikirnya Evert libur. "Jangan berangkat, Pa. Saya, kan, mau melahirkan," ujar Ratna yang takut suaminya tidak berada di sampingnya saat ia melahirkan. Namun Evert bersikeras pergi dengan alasan ingin mengecek beberapa urusan dan mendelegasikan tugas kepada anak buahnya sebagai Chef Banquet di Restoran Erlangga, JW Marriot, Jaksel, sebelum mengambil cuti panjang. Evert memang berencana mengambil cuti panjang setelah Ratna melahirkan untuk mengurus anak keduanya (lelaki) yang sudah lama dinanti-nantikan itu.
Tepat saat Evert sampai di kantornya, pukul 7.30, aku meneleponnya. Dengan lembut dia menyambutku di telepon. "Halo, Ma! Evert lagi tugas, Ma. Aku di kantor hanya sebentar saja, kok. Cuma mau ngecek beberapa hal saja dan mengatur anak buah." Pukul 8.00, setelah adik Evert, anak ketigaku, Jefry Mocodompis (30), berangkat kerja, akupun pergi ke pasar yang letaknya tidak jauh dari rumah. Entah mengapa, dalam perjalanan ke pasar, kurasakan langkahku gontai, seperti melayang. Aku juga merasa malas melihat dan membalas sapaan semua orang yang ada di sana. Siapapun yang menegur, aku pasti membuang muka. Aku berpikir, mengapa aku begini, ya?
Sesampainya di rumah, biasanya aku langsung pergi tidur. Tapi siang itu, seperti ada yang menegurku agar aku menyalakan televisi. Dari berita aku tahu kalau hotel tempat Evert bekerja terkena bom. Untuk memastikan keberadaannya, aku meneleponnya berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Seketika itu juga aku merasa kalau Evert sudah tiada.
Aku kemudian menghubungi Jefry untuk segera mencari kakaknya di rumah sakit. Namun hingga pukul 14.30, kami tidak juga menemui tanda-tanda keberadaan Evert. Aku, suami, dan Jefry akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah. Baru saja ingin kuistirahatkan tubuhku sejenak, tiba-tiba ada menggerakkan tubuhku untuk segera menyalakan televisi. Di situ diberitakan kalau korban yang meninggal dibawa ke RS Kramat Jati. Secepat kilat kami pun segera berganti baju dan menuju ke rumah sakit itu.
Yang kutakutkan menjadi kenyataan. Evert benar ada di sana, tapi rohnya sudah meninggalkannya. Dari foto yang ditunjukkan seorang polisi aku tahu kalau tubuh yang sudah rusak itu adalah tubuh anakku. Ini juga yang menjadi alasan bagi tim dokter dan polisi melarangku untuk melihatnya untuk yang terakhir kali.
Aku teringat wajahnya yang menghitam sejak sebulan lalu. Mungkinkah itu sebagai pertanda akan keadaannya saat ini? Betapa hancur dan sakitnya hatiku saat itu. Apa salahnya hingga ia harus menanggung semua ini? Kasihan juga Ratna. Ia harus melahirkan cucu keduaku (18/7) dengan kesedihan yang tiada tara. Aku berharap bayi lelaki ini bisa memberikan kebahagiaan kepada kami semua, khususnya Ratna, di masa mendatang.
Kami berharap pelakunya dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Sekarang, aku dan keluarga sudah merelakan kepergian Evert sebab semua yang Tuhan buat itu baik adanya. Kami juga sudah memaafkan si pelaku dan biar Tuhan sendiri yang membalaskan semua rasa sakit yang dialami para korban!
Aku ingat, dulu, kalau kami mau jalan-jalan, ia selalu membantuku memandikan dan memakaikan baju kedua adik lelakinya. "Sini kakak mandiin, biar kita cepat pergi," katanya. Evert kecil juga selalu necis dan tampan, lo, kalau mau berangkat sekolah. Mengenakan setelan putih, tas merah, dan rambut merah yang terurai sebahu, ia berpamitan kepadaku. "Ma, selamat pagi, Evert mau pergi ke sekolah dulu, ya." Soal penampilan, Evert memang 'rajanya'. Ada cerita di balik lebatnya bulu dada dan kaki Evert. Waktu kecil, ia memang sudah memimpikan memiliki bulu dada dan kaki yang lebat. Makanya untuk memperoleh itu saat dewasa, ia rajin mencukurnya dengan harapan bulu-bulu itu akan tumbuh sangat lebat. Ha ha ha.
ESTER SONDANG
KOMENTAR