Di halaman yang tak terlalu luas rumah petak di Jalan Madrasah, Pekayon, Jakarta Timur, suasana berkabung begitu terasa. Jumat (5/6) itu, jasad Risa Sumolang (34) baru saja dimakamkan. Ibu lima anak ini baru saja lepas dari penderitaan hidup yang begitu lama menderanya. Setelah sekian lama jadi korban kekerasan rumah tangga oleh suaminya, Risa tewas dengan kondisi sangat mengenaskan.
"Kepala bagian belakang dipukul pakai martil. Sampai tadi dimakamkan, darah masih keluar. Selain itu, kata polisi, ada bekas jerat tali di leher," tutur Marina (38), kakak sulung Risa.
Yang menyedihkan, Risa dihabisi suaminya sendiri, Edi Rohadi (35). "Setelah membunuh Risa, Edi mati gantung diri. Jasad mereka ditemukan di kamar." Hanya dalam sehari, kelima anak mereka, Hendi (16), Wiwin (15), Indah (8), Nisa (5), dan Nita (4) jadi yatim-piatu.
Selalu Menutupi
Semua kesedihan itu seakan "sempurna" karena justru anak-anak mereka yang pertama kali mendapati ibunya sudah tak bernyawa. Kamis (4/6), sepulangnya dari sekolah, Indah tersentak melihat ibunya terbaring di tempat tidur dengan kepala berdarah-darah. Gadis cilik ini makin terperanjat ketika melihat ayahnya menggantung diri di langit-langit rumah kontarakan yang disewa Rp 400 ribu per bulan itu.
Indah segera menghambur keluar rumah, berteriak minta tolong. Gegerlah warga sekitar. "Saya dapat kabar setelah ditelepon keluarga. Ketika sampai di sini, warga sudah ramai. Polisi juga sudah ada. Jenazah mereka lalu divisum di RSCM. Kesimpulannya, adik saya memang dibunuh suaminya," kata Marina.
Sudah sejak lama, tambahnya, kehidupan mendiang adiknya memprihatinkan. Rumah selalu berpindah-pindah karena masih mengontrak. Bahkan di tempat ia dibunuh, Risa baru tiga minggu mengontrak. Ia juga kerap dipukuli sang suami. "Waktu awal menikah, sih, kayaknya bahagia. Begitu punya dua anak, Edi mulai kasar," tutur ibunda Risa, Mardiyah.
Meski begitu, lanjut Mardiyah, Risa selalu menutupi persoalan keluarganya. "Padahal, saya sering lihat tubuhnya biru-biru. Pernah matanya biru, wajahnya lebam-lebam. Tiap saya tanya, mengaku jatuh atau kejedut. 'Enggak apa-apa, kok, Ma' begitu katanya. Saya, sih, tak percaya."
Pencemburu
Apa sebenarnya yang membuat Edi begitu ringan tangan? Rina menduga, faktor ekonomilah penyulutnya. Selama ini, Edi bekerja sebagai calo tiket di Terminal Pulo Gadung. Penghasilannya sangat pas-pasan. "Paling sehari hanya bisa kasih uang ke istri Rp 15- Rp 20 ribu. Mana cukup untuk menghidupi lima anak? Apalagi, tiga anaknya perlu biaya sekolah. Hendi dan Wiwin di SMP, sedangkan Indah masih SD."
Itu sebabnya sekitar setahun lalu, Risa minta izin suaminya untuk bekerja, membantu keuangan keluarga. Edi setuju. Jadilah Risa pramusaji di sebuah kafe di Jakarta Timur yang buka pukul 22.00-03.00. "Tapi suaminya terlalu cemburuan. Pulang telat sedikit saja, Edi pasti main pukul."
Pikiran Edi selalu buruk, menduga Risa kencan dengan tamunya. "Padahal, masih ada yang perlu diselesaikan di tempat kerja. Tak mungkin kami kencan dengan tamu. Di sana bukan kafe mesum. Peraturan kafe sangat ketat. Waktunya pulang, waiter, ya, harus pulang. Tak perlu kami kencan dengan tamu, toh, dapat gaji cukup. Sebulan bisa Rp 1,5 juta plus tips dari tamu. Jadi, kalau dianggap bisa macam-macam, saya tegaskan, jelas tidak. Risa pun sudah menegaskan, tak bakalan mau menjual diri," kata Rina yang juga bekerja di kafe itu.
Henry Ismono
KOMENTAR