Dua istri calon Wakil Presiden RI 2009-2014 buka-bukaan tentang suami mereka hanya kepada Tabloid Nova. Yang jelas, bukan soal politik. Ada soal asmara, kebiasaan suami tercinta, juga cerita-cerita menarik lainnya.
Semula Herawati (65) tak setuju suaminya dipasangkan dengan SBY. Ibu dua anak anak ini malah bertanya, "Apa, sih, yang dicari?" Pertanyaan itu pula yang dilontarkan putri sulung mereka. Ketika Boediono menjelaskan niatnya mengabdi pada bangsa dan negara, Hera langsung setuju. "Saya yakin, suami saya tidak akan kerja setengah-setengah," katanya saat berbincang dengan Tabloid Nova di kediamannya yang jauh dari mewah di Mampang Prapatan, Jaksel, Kamis (28/5).
Apa yang terlintas di benak saat suami mengabarkan diminta SBY sebagai cawapres?
Yang jelas, kaget. Tidak menyangka. Saya sempat terdiam lalu bertanya, "Bapak mau cari apa lagi? Kok, pindah-pindah? Jawabannya, enggak cari apa-apa, cuma mau menyumbangkan tenaga dan pikiran buat bangsa dan negara bersama teman-teman lain agar Indonesia lebih baik.
Jujur, saya perlu waktu buat merenung. Begitu juga suami. beberapa hari kemudian, saya katakan, "Kalau memang sanggup jadi wapres, kerjakan. Tapi jangan setengah-setengah." Eh, dia masih menjawab, "Yah, nanti saya pikir lagi."
Ibu, kan, tahu, Pak Boediono tipe pekerja keras?
Itulah. Saya mengizinkan karena tahu suami saya kalau kerja tak pernah setengah-setengah. Apa pun orang bilang, yang penting dia jujur. Anak-anak juga setuju.
Sudah siap-siap jadi istri cawapres?
Enggak ada persiapan apa-apa. Menyiapkan mental saja. Biasalah, setiap keputusan pasti ada pro dan kontra.
Sekarang ada peningkatan kesibukan?
Kesibukannya belum banyak. Paling melayani permintaan wawancara dari para wartawan. Kalau dulu, enggak ada yang minta wawancara. Kegiatan saya sebelumnya, kan, jadi bendahara Dekranas. Main tenis seminggu tiga kali bersama istri pegawai BI. Mereka baik-baik, lho. Di komplek perumahan saya tinggal, paling banter, ya, kumpul dengan ibu-ibu satu RT setiap bulan. Acaranya paling cerita-cerita, lalu ada pengumuman kegiatan kampung. Warga di sini kompak. Setiap hari raya, ada Syawalan bersama.
Sudah lama tinggal di sini? Nanti bakal pindah, dong?
Sejak 1998. Sebelumnya, keliling. Pernah di kompleks menteri, lalu di Komplek BI Rasamala. Rumah yang saya tinggali ini pun rumah dinas dari BI. Sekarang dalam proses kami beli.
Kalau Bapak terpilih, saya akan tetap ikut kumpul-kumpul warga di perumahan sini. Mungkin Sabtu dan Minggu saya akan kembali ke rumah ini atau sebulan sekali pas kumpulan.
Hari ini masak apa buat Pak Boed?
Saya enggak bisa masak. Tiap hari pembantu yang masak. Suami saya sudah tahu sejak awal, kok, jadi enggak pernah komplain. Kami makan apa saja yang dimasak pembantu. Pembantu juga yang bikin minuman kunyit asam kesukaan Pak Boed. Saya cuma kasih resepnya.
Omong-omong, bagaimana kisah asmara Ibu dengan Pak Boed?
Kami tetanggaan di Blitar (Jatim). Rumah dia di Jl. Wahidin no 6, saya no 32. Kami berteman sejak SD, kadang berangkat sekolah bersama. Sampai SMA, kami masih berteman baik. Saya tidak tahu sejak kapan dia naksir saya. Yang jelas, setelah lulus SMA, dia langsung kuliah di UGM, Yogya. Tahun kedua kuliah, dapat beasiswa Colombo Plan ke Australia.
Waktu itu, saya baru lulus SMA lalu kuliah di Fakultas Ekonomi Airlangga. Saat itulah kami mulai surat-suratan. Dia yang kirim duluan. Isinya, paling cerita tentang suasana Kota Perth dan kampusnya. Saya enggak menyangka kalau ditaksir. Kan, dia kuliah di Australia.
Kapan ada pernyataan "I love you"?
He he he. Dua tahun kemudian, setelah beberapa kali kirim surat. Di salah satu suratnya, dia tanya ke saya, "Mau enggak menemani hidup saya?" Saya jawab, "Mau." Itu sekitar tahun 1964. Surat-suratnya masih saya simpan rapi, lho, sampai sekarang. Dulu, sih, sempat saya simpan di besek (wadah dari anyaman bambu) bersama surat dari beberapa teman pria lain. Tapi setelah pasti dengan dia, surat lainnya itu saya singkirkan. Sampai sekarang suratnya masih saya simpan di rumah kami di Sawitsari, Yogya.
Rini Sulistyati
KOMENTAR