Cuci Darah Di Singapura Tak lama berselang, suamiku menyusul ke Belanda. Kami menemani Andrew jalan-jalan ke Paris, sekalian merayakan ulang tahun ke-50 suamiku. Andrew terlihat senang sekali. Wajahnya terlihat bahagia. Ternyata, Andrew dapat melewati vonis dokter. Bahkan 27 September 2008, Andrew masih menghadiri acara pengumpulan dana YKAKI di Amsterdam.Semua orang ketika itu sudah tahu kondisi Andrew, sehingga di acara tersebut orang-orang tak ada yang berkata apa-apa ketika melihat Andrew. Semuanya hanya bisa memeluk Andrew. Tanpa kata. Bahkan, awal Oktober 2008, Andrew masih dapat mengikuti kongres penderita kanker di Berlin.Selesai kongres, Andrew memutuskan pulang ke Indonesia. Dia bilang, tak mau kehilangan momen kebersamaan dengan keluarga. Dia kangen adik-adiknya, teman-temannya, dan semua sahabatnya. Untuk mengurus kepulangan Andrew, aku berangkat ke Indonesia terlebih dulu. Banyak yang perlu dipersiapkan karena setiap minggu dia harus cuci darah. Aku harus mencari donor dan rumah sakit yang bisa melakukan radiasi darah karena itulah yang diperlukan anakku.Ternyata, waktu itu, belum ada rumah sakit di Indonesia yang bisa melakukannya. Paling dekat, di Singapura. Alhasil, sekembalinya ke Indonesia, empat kali seminggu kami ke Singapura untuk cuci darah. Pagi berangkat, sore pulang. Terus begitu.
Perjamuan Terakhir Lama-lama Andrew lelah. 7 November 2008, kami memilih melakukan semua pengobatan di Indonesia saja. Sampai kemudian, 28 November 2008, Andrew kembali demam dan muntah tanpa henti. Kami bawa dia ke rumah sakit. Andrew terus berujar, ia menyayangi kami semua. Rupanya ia takut tak sempat mengucapkan hal itu bila saatnya tiba.Wajah anakku pucat sekali. Bagian putih di matanya, berubah menjadi kuning. Dia juga mengeluh seluruh tubuhnya terasa sakit. Melihat kondisinya yang makin buruk, 6 Desember 2008 kami mengadakan perjamuan terakhir buat Andrew. Usai perjamuan, tangan Andrew terus menggenggam erat tanganku. Erat sekali seakan tak mau melepaskan tanganku.Tak ada yang dapat kulakukan selain terus berdoa di samping Andrew. Menyanyikan doa yang biasa kami dendangkan setiap menjelang tidur di telinga Andrew. Akhirnya, pukul 21.30 WIB pada 7 Desember 2008, Andrew dipanggil Yang Kuasa.Sesuai dengan keinginannya yang tak ingin melihat aku bersedih, tak setetes pun air mataku jatuh ketika melepas Andrew. Aku bahkan mampu mengurus sendiri semua keperluan pemakaman Andrew. Aku tak mau menyusahkan orang. Mulai dari menjahit kebaya warna hitam, tanah makam, peti jenazah, baju untuk Andrew, bunga, dan lainnya.Kalau pun sekarang aku menangis, itu karena kangen. Bukan karena menangisi kepergiannya yang secepat ini karena aku yakin, Tuhan lebih sayang pada Andrew.Kebahagiaanku sekarang, membantu orangtua dan pasien kanker. Daripada terus-menerus menangis, bukankah lebih baik energinya kupakai untuk membantu orang lain dan mengurus keluarga? Masih ada suami dan dua anak lain yang perlu perhatianku. Kalau pun sedang sendiri, aku hanya mengingat kejadian yang senang-senang. Nostalgia boleh, tapi jangan lupa dengan realita. Bersyukur aku mempunyai keluarga dan sahabat yang sangat mendukung.Proses perjalanan ini harus dihargai. Meski pada akhirnya putraku berpulang, itu adalah kuasa Tuhan. Yang pasti, janganlah pernah berputus asa dan jangan menunjukkan kesedihan di depan penderita kanker. Berat, memang! Tapi itu harus tetap dilakukan.Satu lagi pelajaran berharga yang akan selalu kubagi, kanker harus cepat ditangan karena 70 persen kanker bisa disembuhkan. Dengan catatan, cepat ditangani dan ditangani dengan benar. Lewat YKAKI-lah kucoba untuk membagi pengalaman dan membantu mereka.
KOMENTAR