Setiap kali bergerak, usus yang menyembul dari dalam perut itu tergesek-gesek pakaian yang kukenakan. Belum lagi kotoran perutku yang bisa keluar kapan saja. Dengan alasan efisien dan efektif, aku memilih tisu dan isolasi untuk menutupinya.
Wajar rasanya kalau kemudian kuadukan masalah ini ke Lembaga Perlindungan Hukum Pasien (LPHP) dan Kejaksaan Tinggi dengan gugatan malapraktik (10/01/01 ). Tahu dirinya dilaporkan, dengan segala cara dr Iam berusaha melakukan perdamaian. Namun, kata sepakat tak pernah tercapai karena setiap usaha yang dilakukannya hanya menguntungkan dirinya.
Padahal, dalam hal ini, aku yang sangat dirugikan.
Dalam keadaan terjepit itulah ia kemudian balik melaporkan aku ke Polda Metro Jaya (22 Juni 2001) dengan alasan pencemaran nama baik. Namun aku tidak takut!
Setelah menunggu selama 2 tahun akhirnya surat P21 dari Polda keluar juga. Ah, senangnya hatiku. Berarti perkaraku bisa segera disidangkan dan dr Iam sah sebagai tergugat. Aku pun mulai menyerahkan semua bukti yang diperlukan ke Jaksa Penuntut, Ibu Swasti.
Anehnya, 6 bulan kemudian, Ibu Swasti bilang, semua bukti dokumen itu hilang. Bagaimana bisa, pikirku. Tapi aku tidak mau berpikir negatif. Selama ini aku tidak melakukan kesalahan, jadi aku yakin pada akhirnya akan menang.
Belakangan, keluarlah surat dari Dinas Kesehatan yang menyatakan, kebocoran ususku itu merupakan risiko operasi, bukan kesalahan medis. Hah, risiko operasi? Sejak awal, dr Iam tidak pernah memberitahuku soal itu. Bagaimana pula Dinkes bisa menyimpulkan begitu sedangkan mereka tidak pernah melakukan pemeriksaan medis padaku?
Ah, sepertinya semua pihak melawanku. Begitu juga dengan adik-adik dan keluarga besarku. Mereka tidak senang aku berkoar-koar ke sana-sini, sampai ke media, sambil mempertontonkan perutku yang berlubang dan penuh jahitan. Aku dianggap tidak menjaga nama baik keluarga dan kemudian dibuang.
Jangan ditanya bagaimana sedihnya hatiku saat itu. Mengapa dalam kondisiku seperti ini mereka tidak bisa mendukung dan malah merasa malu? Untungnya Mami, Asrofiyah K Chalik (74), dan seorang kerabatku masih mau mendukung. Sejak itu, aku keluar dari rumah Mami di Bandung dan mulai mengadu nasib di Jakarta. Sendirian.
Takut Bunuh Diri
Yang pasti, aku tidak pernah menyerah mencari keadilan. Entah mendapat kekuatan dari mana, setiap hari aku semakin bersemangat. Tertanggal 23 Juni 2008, aku memasukkan gugatan perdataku ke PN Jakarta Selatan. Tidak hanya itu. Aku juga mengganti kuasa hukumku dengan Tim Advokasi Kesehatan Masyarakat Indonesia (TAKMI) yang diketuai Andris Basril, SH.
Setelah penantian panjang, sidang keputusanku dijadwalkan 24 Maret 2009 lalu. Menunggu hari itu, sepanjang malam aku berzikir. Aku minta kepada Allah agar diberikan kekuatan jika keputusan sidang tidak sesuai dengan yang kuharapkan.
KOMENTAR