Sembilan bulan kemudian, lahirlah Stephanie Handoyo. Saat persalinan berlangsung, aku sempat curiga melihat dokter berbisik-bisik. Penasaran, kutanya, "Bayi saya sehat, kan, Dok?" Ternyata sehat. Anehnya, dokter tetap berbisik-bisik.
Sejenak kemudian, suamiku, Santoso Handoyo, mendatangiku di ruang rawat. Pelan-pelan ia bilang, "Bayi kita memperlihatkan tanda-tanda DS." Saat itu aku tak mengerti soal DS. Setelah suamiku menjelaskan, aku baru paham dan berusaha menerima dengan lapang dada. Kupikir, toh, ada keponakan kami yang mengalami hal serupa, tetapi bisa dibesarkan dengan baik. Ya, sesederhana itu pemikiranku saat itu. Belum terpikir sekian banyak halangan yang harus kulalui di kemudian hari.
Buku Harian
Masalah pertama yang kuhadapi, soal keluarga. Apalagi, Fani merupakan cucu pertama untuk keluarga suami. Kuadakan pertemuan keluarga. Aku beruntung, semua bisa menerima kekurangan Fani. Bahkan mendukung. Setelah itu, langkah yang kujalani terasa lebih ringan. Mulailah aku mencari-cari cara merawat Fani. Aku memang berkomitmen merawatnya sendiri.
Kebetulan, seorang kerabat, Prof Dr Gunawan Budiarto, ahli syaraf. Ia merujukku ke seorang dokter spesialis DS. Dari dokter itulah aku dipinjami buku-buku seputar DS. Aku juga rajin ikut seminar tentang DS.
Jadilah sejak bayi Fani kuterapi sendiri. Mulai dari koordinasi mata, kulakukan berulang-ulang sampai bola matanya bisa mengikuti gerakan jariku. Menginjak umur setahun, aku mulai mengenalkan dirinya sendiri. Kupegang kedua telapak tangannya, kutepukkan di dadanya sembari mengucapkan namanya, "Fani". Kemudian kubawa ke dadaku dan kukatakan, "Mama". Stimulasi itu terus-menerus aku lakukan sampai Fani bisa menirukan.
Untuk menghindari stres, aku tidak berpegang pada hasil yang kucapai, melainkan cenderung pada prosesnya. Ketelatenan memang sangat dituntut. Untuk mengajarkan warna, benda-benda tajam dan tumpul, misalnya, perlu waktu lama. Untuk mengajarnya agar bisa tertawa lepas, aku perlu waktu 8 bulan!
Untungnya, DS Fani tidak diikuti sejumlah penyakit lain seperti jantung atau penyakit lainnya. Dulu, Fani sempat mengalami susah BAB. Kalau kelelahan, matanya jadi juling. Ada, lho anak DS yang meninggal gara-gara buang airnya susah. Makanya, makanan yang dikonsumsi Fani kuatur sedemikian rupa agar BAB-nya lancar.
Nah, semua hal yang kulakukan hari demi hari, kucatat di buku harian. Kini jumlahnya sudah amat banyak dan kelak ingin kuterbitkan. Aku juga membuat buku pengajaran pribadi, sehingga bila aku sedang pergi, tugas mengurus Fani bisa didelegasikan pada orang lain.
Terapi selanjutnya kulakukan sendiri. Kebetulan, RS Harapan Kita Jakarta baru membuka klinik tumbuh kembang anak (KTK). Kupikir, di sana bagus. Aku pun bolak-balik Surabaya-Jakarta sampai akhirnya suatu hari kami memutuskan pindah ke Jakarta.
Aku bersyukur, Fani menjadi anak DS yang pertama mendaftar di KTK dan berhasil diterapi. Sekarang, aku sering diminta pihak RS memberi dukungan pada orangtua anak DS di KTK. Dari situ, terbentuklah POTADS (Persatuan Orangtua Anak Down Syndrome).
Selesai terapi dari KTK, Fani masuk TK di kawasan Kelapa Gading sambil terus kuterapi sendiri di rumah. Usia 4 tahun, Fani masuk SLB Dian Grahita di Kemayoran. Tak sampai setengah tahun, ia naik ke kelas satu. Fani juga sempat mengalami beberapa kali lompat kelas. Umur 8 tahun sudah duduk di kelas 5 SLB bersama anak-anak umur 13-15 tahun. Mungkin itu yang membuat para guru dan dokter merekomendasi Fani masuk ke sekolah umum.
Rini Sulistyati
KOMENTAR