“Rasanya tidak fair kalau anak miskin disetarakan dengan anak mampu. Selain itu, anak yang punya prestasi bagus biasanya sudah ditampung banyak perusahaan,” dalih Didik.
Lagi pula, lanjut Didik, pihak SMA SPI tidak mau terjebak dengan pemahaman anak pandai atau bodoh. “Dengan teknik mendidik yang tepat, anak yang ketika SMP ranking bawah di SMA SPI bisa lebih cemerlang.” Yang jelas, semua biaya hidup, pakaian sekolah bahkan pakaian pribadi dan uang saku bulanan ditanggung oleh SMA SPI.
Dan karena salah satu tujuan didirikannya SMA PI adalah untuk memutus rantai kemiskinan, maka selama bersekolah di SPI, siswa akan diajari entrepreneur, dengan harapan setelah lulus masing-masing anak memiliki jiwa wirausaha.
Jadwal jam sekolah setiap hari adalah pukul 07.30 - 15.30, setelah itu bagi yang muslim, usai salat Ashar akan dilanjutkan pendidikan wirausaha sampai menjelang pukul 18.00 atau menjelang salat Maghrib. “Itu jadwal Senin-Jumat, sedang Sabtu dan Minggu full untuk kegiatan wirausaha,” kata Didik sambil menambahkan bahwa untuk kegiatan wirausaha, SMA SPI mendatangkan trainer berbagai bidang dari luar sekolah.
Supaya anak-anak lebih bergirah belajar, pihak sekolah juga membiayai tur ke luar daerah, seperti ke wilayah Jatim untuk siswa kelas 1, Yogya (kelas 2), dan Bali (kelas 3). Sementara anak kelas 3 yang punya prestasi dalam bidang wirausaha akan dikirim ke Singapura, Hongkong, Macau, dan Cina.
Pihak pengelola SMA SPI sengaja memberangkatkan ke luar negeri dengan tujuan agar rasa percaya diri anak-anak itu tumbuh sehingga melahirkan ide-ide cemerlang. “Anak dari kalangan tidak mampu kadangkala rasa mindernya tinggi. Nah setelah diberangkatkan ke luar negeri dengan fasilitas mewah, biasanya muncul rasa bangga dan percaya diri. Dari sana biasanya lahir-lahir ide brilian.”
Salah satu contoh, drama musical Today is Tomorrow. Ide pementasan ini muncul ketika anak-anak SMA SPI melihat sebuah pertunjukan di Senzhen, China. Setiba di sekolah, mereka membuat alur cerita, perpaduan musik, koreografi sampai atraksi. “Pihak sekolah membiayai proses membuat pergelaran sebesar Rp 1,2 milyar. Nah, kreativitas anak-anak ini tidak akan keluar jika tidak pernah menonton sebelumnya,” lanjut Didik.
Produsen Snack
Siswa-siswa SMA SPI juga sukses menghasilkan makanan kecil yang menjadi trade mark yaitu Coco Banana pada tahun 2010. Coco Banana, adalah makakan kecil yang berasal dari pisang dengan dibalut adonan beraneka rasa. Produk ini menjadi andalan dan saat ini omset per tahunnya mencapai Rp 12 milyar.
Dari Coco Banana itu lahir 13 divisi usaha lain, mulai divisi merchandise, resto, perhotelan, tour, air minum isi ulang, perternakan, perikanan, pertanian, dan lain-lain. Saat ini masing-masing suku usaha omsetnya sudah mencapai Rp 12 milyar per tahun. “Yang mengelola bisnis itu ya anak-anak sendiri. Baik yang baru kelas 3 maupun yang sudah lulus. Anak-anak setelah lulus diberi kebebasan mau balik ke kampung halaman atau membuka usaha sendiri. Tetapi kalau masih tetap ingin bertempat tinggal dan bekerja di sini juga diperbolehkan,” jelas Didik. “Yang masih tetap bekerja di sini tentu akan digaji minimal UMR, tetapi itu sangat jarang. Sebab kalau usaha yang dikelolanya sudah besar, dia akan mendapat tambahan dari prosentase penghasilan.”
Outlet untuk divisi resto, merchandise dan beberapa yang lain buka di dalam SMA SPI karena hampir setiap hari di kawasan SMA SPI ada kegiatan outbond atau training. Untuk outbond pemandunya adalah anak-anak SMA SPI sendiri, sedang trainernya biasanya Eka Julianto yang kebetulan seorang motivator. Jadi, perputaran uang di sini cukup tinggi, karena setiap hari ada kegiatan, kunjungan, training, maupun outbond. Selama kegiatan, para peserta pasti makan di resto atau memberi merchandise pada outlet yang dikelola anak SPI,” jelas Didik.
Untuk menjaga kredibilitas maupun tujuan luhur didirikannya SMA SPI, tentu harus dibarengi dengan displin tinggi. Dan dari sekian banyak peraturan, ada tiga peraturan yang sangat kaku dan tidak boleh dilanggar. Jika dilanggar, sanksinya pasti dikeluarkan. Pertama, dilarang mencuri, kedua, sesama siswa dilarang pacaran, dan ketiga, selama menjadi siswa atau mereka yang lulus tapi tetap tinggal di asrama dilarang pindah agama. “Kami tidak ingin ada stigma terjadi islamisasi atau Kristenisasi. Justru di sini anak-anak diharuskan memperdalam agamanya dengan baik,” kata Didik.
KOMENTAR