Ketika kondisi kami rasa sudah mulai aman, aku bergegas mencari keberadaan suamiku yang tak diketahui nasibnya. Bersama putri bungsuku, aku mencari keberadaan suamiku. Selain suami, orangtua dan adikku pun hilang tanpa kabar berita. Beberapa hari melakukan pencarian, aku akhirnya pasrah. Melihat kondisiku, putri sulungku memintaku untuk tidak lagi mencari anggota keluarga yang hilang. Ia memintaku menenangkan diri dan beristirahat di kampung Merdu, Pidie Jaya.
Untungnya aku mengikuti saran anakku. Aku pun pulang kampung dan baru kembali ke Lampulo beberapa bulan kemudian. Saat kembali ke Aceh, aku dan keluarga harus mengungsi di daerah Berawe, kemudian pindah ke kawasan Hotel Rajawali. Sebulan mengungsi, akhirnya kami mendapatkan bantuan tenda dari PMI untuk didirikan di tanah kami masing-masing. Di situlah aku mulai aktif melakukan kegiatan untuk bangkit dan melepaskan dari trauma dan kehilangan yang berkepanjangan.
Pasca tsunami, tulang punggung keluarga untuk membesarkan kelima anak-anak beralih kepadaku. Tanggung jawab itu membuatku selalu bersemangat apabila ada NGO (Non Government Organization) yang menawarkan berbagai pelatihan keterampilan untuk memulai usaha. Semua pelatihan aku ikuti tak terkecuali, mulai dari pelatihan cara membuat kue hingga ikan kayu (keumamah) di akhir tahun 2006.
Bagi sebagian orang Aceh, ikan kayu adalah makanan khas tradisional yang sangat disuka. Berbahan ikan tongkol dan tepung, cara membuatnya cukup mudah. Ikan tongkol dicampur dengan tepung dan kemudian akan mengeras seperti kayu. Itu sebab, makanan itu disebut ikan kayu. Ikan kayu ini mampu bertahan hingga satu tahun dan biasanya disajikan di rumah makan khas Aceh.
Mengenang satu tahun peringatan bencana tsunami Aceh, aku dan teman-teman yang tergabung dalam KSM Tuna membuka stan di kawasan Ulee Lheue dan memamerkan hasil olahan ikan kayu kami. Agenda tersebut dihadiri Presiden SBY yang merespons positif sehingga banyak yang terdorong juga membeli produk ikan kayu ini.
Cap Kapal Tsunami
Usai pameran, aku memutuskan serius memulai usaha ikan kayu. Bermodalkan uang sebesar Rp500 ribu, aku memulai bisnis ini. Ikan kayu potensial untuk bisnis karena potensi ikan yang melimpah dan tempat tinggal kami yang di dekat laut sehingga makanan ini bisa menjadi ciri khas.
Sebetulnya, usaha ini didominasi oleh laki-laki. Perempuan biasanya hanya kebagian membersihkan ikan, tapi tidak mengolahnya.
Tak sekedar memulai usaha ikan kayu, aku tak mau ikan kayuku seperti ikan kayu kebanyakan. Aku mulai memikirkan ikan kayu yang berbeda dari ikan kayu lain yang ada. Dulu, ikan kayu berupa batangan, jadi dijual per kilo. Aku memutuskan mengambil peluang dengan membuat ikan kayu yang disuwir dan dijual dalam kemasan sehingga mudah dijadikan oleh-oleh.
Tentu saja, modal Rp500 ribu jauh dari cukup. Untuk membeli beberapa keranjang ikan segar saja tidak cukup. Aku pun bersyukur saat itu mendapat bantuan sejumlah peralatan lain seperti kompor dan wajan. Tak lama berselang, aku kembali mendapatkan bantuan sebuah freezer untuk menyimpan ikan.
Bersama KSM Tuna, aku merintis usaha kayu ini dengan semangat dan keyakinan. Sayangnya, perlahan banyak anggota KSM Tuna yang tidak mau meneruskan usaha ini dan memilih mengundurkan diri. Aku sendiri memilih tetap bertahan. Aku tetap punya keyakinan bahwa bisnis ini akan berbuah manis. Jadi, aku mantap memilih meneruskan usaha ini, apapun keadaannya.
Karena hanya tinggal aku yang menekuni usaha ini, aku pun membuat merek dengan nama ikan kayu cap “Kapal Tsunami.” Ya, nama itu terinspirasi dari kapal yang telah menyelamatkan keluargaku. Kapal besar tersebut belakangan menjadi saksi bisu bencana tsunami dan bahkan menjadi tujuan lokasi wisata. Ia masih tegak berada di atas atap rumah penduduk di Lampulo.
KOMENTAR