Tragedi tsunami ternyata juga berbuah rezeki bagiku. Kapal yang menjadi lokasi wisata baru itu juga membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat desa Lampulo, termasuk aku. Aku yang kesulitan memasarkan produk pun jadi lebih mudah dan terbantu karena banyak turis yang datang untuk membeli oleh-oleh di lokasi wisata ini.
Penuh Tantangan
Banyak tantangan yang kuhadapi selama menjalankan usaha ini. Usaha ini benar-benar kumulai dari nol, mulai produksi hingga pemasaran semuanya dari nol. Dengan modal yang minim, yang bisa kulakukan saat itu adalah mencari nelayan yang mau bekerjasama menyediakan ikan tapi pembayarannya bisa dilunasi setelah semua produksi terjual. Alhamdulillah, aku akhirnya dipertemukan dengan orang-orang baik yang percaya dan mau kuajak bekerjasama.
Sebelum mendapatkan penyuplai ikan sekarang yang bisa diajak bekerjasama, aku pernah juga mengalami pengalaman tak mengenakkan dengan nelayan penyuplai. Sepertinya, ia hanya menginginkan keuntungan tanpa memperhatikan kualitas ikan yang kucari untuk diproduksi. Rasanya kesal banget. Aku tak bisa lagi mempercayainya. Pernah suatu ketika kukembalikan semua ikan-ikan yang diberikan kepadaku. Kuputuskan untuk tidak lagi bekerjasama dengannya.
Selain tantangan soal bagaimana mendapatkan bahan baku ikan yang berkualitas, aku juga harus siap dengan persoalan produksi. Ya, ikan kayu olahan kami benar-benar dibuat secara tradisional. Kami mengandalkan matahari untuk menjemur agar ikan kayu kering dan enak saat diolah kembali.
Memang, ada bantuan mesin yang diberikan. Sayangnya, mesin itu tidak dapat menampung produksi yang cukup banyak sehingga biaya produksi untuk listrik dan gas terlalu besar. Jadinya, mesin pengering ini hanya digunakan apabila musim hujan tiba dan ikan kayu tidak bisa dijemur dengan matahari panas.
Begitu pula soal kemasan dan pemasaran. Banyak tahapan dan proses yang harus kulalui. Soal kemasan, aku membuat kemasan sederhana menggunakan plastik mika. Tapi ternyata kemasan itu tak terlalu menarik secara tampilan. Mau dititipkan ke swalayan juga tidak bisa karena kemasan yang kurang bagus itu. Aku kemudian kembali mengikuti berbagai pelatihan untuk membekali pengetahuan bagaimana membuat kemasan yang menarik dan pemasaran yang efektif.
Sampai akhirnya aku menemukan kemasan kotak yang jauh lebih baik dan menarik. Pada kemasan itu sudah tercetak merek cap “Kapal Tsunami.” Benar saja, produk ikan kayu yang sudah hadir dalam kemasan yang jeuh lebih menarik itu akhirnya bisa dijual di swalayan dan toko-toko oleh-oleh. (Bersambung)
Swita Amallia
KOMENTAR