Mark Kastleman, penulis buku The Drugs of the New Millenium memberi nama pornografi sebagai visual crack cocaine atau narkoba lewat mata. Mark Kastleman juga menyebut adiksi pornografi pada anak-anak tidak terlepas dari bisnis pornografi yang memang menyasar anak-anak sebagai target pasar.
Perangkap yang diberikan bermacam-macam. Misalnya, awalnya gratis, lama-lama bayar. "Persis kayak jual narkoba. Cicip dulu sedikit, setelah ketagihan, pasti si anak akan mencari. Bedanya, orang kecanduan narkoba masih kelihatan, misalnya sakau. Tapi, kecanduan pornografi tidak. Kalau sudah kecanduan banget baru bisa," urai Elly.
Ciri-ciri kecanduan pornografi antara lain anak menghabiskan waktu lebih banyak dengan perangkat teknologi, seperti internet, games atau handphone. Anak menjadi gampang marah, self esteem rendah, kalau bicara tidak mau menatap mata kita, melawan, suka berkhayal, prestasi akademik merosot tiba-tiba, dan pendiam. "Anak juga biasanya mengamuk kalau ditegur untuk berhenti melakukan aktivitas tertentu tadi," kata Elly. Anak seringkali ingin keluar dari jerat adiksi tadi tapi tidak mampu karena tidak ada yang tahu dan bisa membantunya.
Harus Disadari
Untuk mengatasi hal ini, kuncinya ada pada orangtua. "Orangtua harus mau berubah, harus siap, harus paham, harus menerima tantangan bahwa mereka membesarkan generasi Z yang berbeda," jelas Elly.
Orangtua juga harus sadar siapa yang mereka hadapi dan tahu bagaimana menghadapinya. Artinya, orangtua harus sadar anak-anak mereka adalah generasi yang mempersyaratkan pengasuhan yang berubah, pembelajaran di sekolah yang juga berubah, serta dan pekerjaan yang berubah. Misalnya dalam hal pekerjaan. "Mereka ini tidak bisa bekerja di satu tempat lebih dari dua tahun. Mereka maunya mencari kesempatan lebih baik dan pas yang bisa membuat mereka lebih berkembang," jelas Elly.
Elly menyarankan orangtua agar melakukan common sense parenting. "Pola pengasuhan seperti yang dilakukan orangtua zaman dulu tentu tidak bisa lagi dilakukan sekarang. Orangtua tidak bisa menghindarkan anak dari teknologi. Tapi, jangan beri anak teknologi tanpa alasan dan penjelasan," ujar Elly. Dan, yang tidak boleh dilupakan, "Harus ada penjelasan secara agama," tegas Elly.
Pada saat memberikan handphone misalnya, selain harus memberikan alasan, orangtua juga wajib memberikan batasan dan peraturan kepada anak. Alat atau piranti yang diberikan juga harus disesuaikan dengan tingkat usia. Aturan di dalamnya juga harus memuat tentang rutinitas sehingga penggunaan teknologi tetap harus dibatasi. Yang tak kalah penting, harus ada penjelasan tentang keuntungan dan kerugian menggunakan berbagai media digital tadi, pembatasan penggunaannya seperti apa, serta persyaratan yang disepakati bersama.
Sayangnya, riset YKBH menunjukkan 80 persen pemberian ini tanpa alasan. Padahal, orangtua seharusnya memberikan aturan yang disertai alasan. Misalnya, "Mama kasih kamu PC tablet ini, tapi kamu harus..." Jika aturan dan alasan ini dibicarakan baik-baik, anak pasti akan memahami dan mau mengikuti. "Orangtua harus terus melakukan kontrol seiring usia anak. Makin rendah usia anak, limit-nya makin kencang. Semakin besar usia anak, limit-nya makin dikurangi. Jangan dibalik. Kecilnya terlalu longgar, besarnya malah dikencengin," lanjutnya.
Peran ayah juga sangat signifikan. Biasanya, anak-anak yang terkena adiksi ini adalah mereka yang kurang mendapat perhatian orangtua, terutama dari figur ayah. "Anak laki-laki perlu tokoh ayahnya sebagai contoh, sementara anak perempuan perlu tokoh ayahnya untuk mengisi jiwanya," jelas Elly sambil menyarankan orangtua untuk sepekan sekali mematikan gadget selama 30 menit saja, dan meluangkan waktu bersama anak.
Mau Belajar
Apa yang bisa dilakukan orangtua menghadapi anak-anak Gen Z? Berikut tips dari Elly Risman:
- Orangtua harus tahu perkembangan anak-anak mereka dan harus mau membangun kesadaran terus-menerus. Perhatikan bahwa kebutuhan anak-anak ini berbeda. Komunikasi, penghargaan, dan disiplin pun beda.
- Pahami kebutuhan anak-anak, proaktif mengarahkan, menjelaskan, mendampingi, dan membicarakan konsekuensinya. Aturan harus dibuat bersama antara orangtua dengan anak.
- Orangtua harus mau belajar terus-menerus, terutama soal teknologi (IT). Contohnya, bertemanlah dengan anak di Facebook atau Twitter, "Istilahnya, 'Elo gaul dikit, deh,'" ujar Elly.
Hasto Prianggoro
KOMENTAR