Mereka yang disebut sebagai generasi Z (Gen Z) ini adalah generasi yang lahir antara tahun 1994 sampai tahun 2009. Gen Z adalah anak-anak atau orang yang sejak lahir sudah akrab dengan teknologi. Artinya, teknologi sudah menjadi bagian dari hidup mereka sejak mereka lahir ke dunia. Jadi, jangan heran jika anak-anak dari Gen Z sangat mahir menggunakan teknologi apa pun.
Generasi ini berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, seperti generasi Baby Boomers (lahir 1946 - 1964), generasi X (lahir 1965 - 1980) dan Y (lahir 1981 - 1995). Perbedaan paling tampak adalah ketertarikan Gen Z kepada perangkat gadget di usia yang masih sangat muda. Ibaratnya, anak-anak Gen Z ini sudah sejak dalam perut Sang Ibu "mengenal" gadget. Setelah lahir pun, Sang Ibu asyik menyusui Gen Z ini sambil browsing dan aktif di social media (socmed).
Menurut psikolog Elly Risman, Psi., dari Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH), Jakarta, Gen Z adalah generasi yang banyak mengandalkan teknologi untuk berkomunikasi, bermain, dan bersosialisasi. "Dari sisi tata nilai, Gen X dan Gen Y mungkin masih lebih bagus. Tingkat kepedulian mereka juga masih lebih tinggi. Tapi, Gen X dan Gen Y tidak secepat Gen Z," jelas Elly.
Ancaman Pornografi
Nah, dunia kita sekarang ini berada di tangan mereka, Gen Z. Generasi ini mengerjakan pekerjaan rumah, mengerjakan tugas sekolah, berkomunikasi dengan teman, semuanya melalui media internet. Entah Google, Wikipedia, Facebook, Twitter, dan sebagainya. "Nge-tweet dengan smartphone, sambil sibuk browsing dengan PC tablet, di kupingnya (memakai, Red.) headset dengerin musik," kata Elly.
Artinya, mereka adalah anak-anak yang luar biasa, multitasking, instan, penuh tantangan, dan bisa mengatasi tantangan itu. Buat mereka, everything is interesting and fun atau semua hal menarik dan menyenangkan. Inilah yang membuat mereka betah berlama-lama di dunia maya itu. Sementara di dunia nyata, acapkali mereka berhadapan dengan dunia yang penuh omelan, marah-marah, cap, labeling, membanding-bandingkan, dan sebagainya.
Jadi, pola pengasuhan dan pola pembelajaran anak-anak Gen Z ini seharusnya juga berubah. Alias tidak lagi meniru pola pengasuhan generasi sebelumnya. Permasalahan utamanya, orangtua dari Gen Z ini seringkali tidak tahu bahwa mereka memiliki anak-anak Gen Z dengan beragam kelebihan tadi. Bahkan, orangtua kerap memperlakukan anak-anak Gen Z ini seperti mereka diperlakukan ayah ibu mereka 20 - 30 tahun lalu. "Masih pakai pola pengasuhan lama, cara lama, yang sudah pasti sudah tidak relevan. Sudah kuno," lanjutnya.
Namun, tantangan yang dihadapi Gen Z juga besar, salah satunya kerusakan otak akibat pornografi. Temuan YKBH, terutama terhadap siswa kelas 4 hingga 6 SD, sepanjang tahun 2008 sampai awal 2010 di Jabodetabek, ditemukan bahwa 67 persen dari mereka telah melihat/mengakses porografi, 37 persen di antaranya mengakses dari rumah sendiri. "Dan ternyata, para orangtua tidak mengetahui atau menyadari apa yang telah disaksikan anak-anak mereka melalui berbagai fasilitas yang mereka berikan untuk anak-anak mereka, seperti TV, games, handphone, internet, dan sebagainya," kata Elly.
Kurang Perhatian
Ahli bedah otak dari Amerika Serikat, Dr. Donald Hilton Jr., mengatakan bahwa pornografi sesungguhnya merupakan penyakit karena mengubah struktur dan fungsi otak. Atau, dengan kata lain merusak otak.
Bagian yang paling rusak adalah prefrontal cortex (PFC) yang membuat anak tidak bisa membuat perencanaan, mengendalikan hawa nafsu dan emosi, serta mengambil keputusan dan berbagai peran eksekutif otak sebagai pengendali impuls-impuls. Bagian inilah yang membedakan antara manusia dan binatang.
Mark Kastleman, penulis buku The Drugs of the New Millenium memberi nama pornografi sebagai visual crack cocaine atau narkoba lewat mata. Mark Kastleman juga menyebut adiksi pornografi pada anak-anak tidak terlepas dari bisnis pornografi yang memang menyasar anak-anak sebagai target pasar.
Perangkap yang diberikan bermacam-macam. Misalnya, awalnya gratis, lama-lama bayar. "Persis kayak jual narkoba. Cicip dulu sedikit, setelah ketagihan, pasti si anak akan mencari. Bedanya, orang kecanduan narkoba masih kelihatan, misalnya sakau. Tapi, kecanduan pornografi tidak. Kalau sudah kecanduan banget baru bisa," urai Elly.
Ciri-ciri kecanduan pornografi antara lain anak menghabiskan waktu lebih banyak dengan perangkat teknologi, seperti internet, games atau handphone. Anak menjadi gampang marah, self esteem rendah, kalau bicara tidak mau menatap mata kita, melawan, suka berkhayal, prestasi akademik merosot tiba-tiba, dan pendiam. "Anak juga biasanya mengamuk kalau ditegur untuk berhenti melakukan aktivitas tertentu tadi," kata Elly. Anak seringkali ingin keluar dari jerat adiksi tadi tapi tidak mampu karena tidak ada yang tahu dan bisa membantunya.
Harus Disadari
Untuk mengatasi hal ini, kuncinya ada pada orangtua. "Orangtua harus mau berubah, harus siap, harus paham, harus menerima tantangan bahwa mereka membesarkan generasi Z yang berbeda," jelas Elly.
Orangtua juga harus sadar siapa yang mereka hadapi dan tahu bagaimana menghadapinya. Artinya, orangtua harus sadar anak-anak mereka adalah generasi yang mempersyaratkan pengasuhan yang berubah, pembelajaran di sekolah yang juga berubah, serta dan pekerjaan yang berubah. Misalnya dalam hal pekerjaan. "Mereka ini tidak bisa bekerja di satu tempat lebih dari dua tahun. Mereka maunya mencari kesempatan lebih baik dan pas yang bisa membuat mereka lebih berkembang," jelas Elly.
Elly menyarankan orangtua agar melakukan common sense parenting. "Pola pengasuhan seperti yang dilakukan orangtua zaman dulu tentu tidak bisa lagi dilakukan sekarang. Orangtua tidak bisa menghindarkan anak dari teknologi. Tapi, jangan beri anak teknologi tanpa alasan dan penjelasan," ujar Elly. Dan, yang tidak boleh dilupakan, "Harus ada penjelasan secara agama," tegas Elly.
Pada saat memberikan handphone misalnya, selain harus memberikan alasan, orangtua juga wajib memberikan batasan dan peraturan kepada anak. Alat atau piranti yang diberikan juga harus disesuaikan dengan tingkat usia. Aturan di dalamnya juga harus memuat tentang rutinitas sehingga penggunaan teknologi tetap harus dibatasi. Yang tak kalah penting, harus ada penjelasan tentang keuntungan dan kerugian menggunakan berbagai media digital tadi, pembatasan penggunaannya seperti apa, serta persyaratan yang disepakati bersama.
Sayangnya, riset YKBH menunjukkan 80 persen pemberian ini tanpa alasan. Padahal, orangtua seharusnya memberikan aturan yang disertai alasan. Misalnya, "Mama kasih kamu PC tablet ini, tapi kamu harus..." Jika aturan dan alasan ini dibicarakan baik-baik, anak pasti akan memahami dan mau mengikuti. "Orangtua harus terus melakukan kontrol seiring usia anak. Makin rendah usia anak, limit-nya makin kencang. Semakin besar usia anak, limit-nya makin dikurangi. Jangan dibalik. Kecilnya terlalu longgar, besarnya malah dikencengin," lanjutnya.
Peran ayah juga sangat signifikan. Biasanya, anak-anak yang terkena adiksi ini adalah mereka yang kurang mendapat perhatian orangtua, terutama dari figur ayah. "Anak laki-laki perlu tokoh ayahnya sebagai contoh, sementara anak perempuan perlu tokoh ayahnya untuk mengisi jiwanya," jelas Elly sambil menyarankan orangtua untuk sepekan sekali mematikan gadget selama 30 menit saja, dan meluangkan waktu bersama anak.
Mau Belajar
Apa yang bisa dilakukan orangtua menghadapi anak-anak Gen Z? Berikut tips dari Elly Risman:
- Orangtua harus tahu perkembangan anak-anak mereka dan harus mau membangun kesadaran terus-menerus. Perhatikan bahwa kebutuhan anak-anak ini berbeda. Komunikasi, penghargaan, dan disiplin pun beda.
- Pahami kebutuhan anak-anak, proaktif mengarahkan, menjelaskan, mendampingi, dan membicarakan konsekuensinya. Aturan harus dibuat bersama antara orangtua dengan anak.
- Orangtua harus mau belajar terus-menerus, terutama soal teknologi (IT). Contohnya, bertemanlah dengan anak di Facebook atau Twitter, "Istilahnya, 'Elo gaul dikit, deh,'" ujar Elly.
Hasto Prianggoro
KOMENTAR