Ibu Rieny Yth.,
Saya ibu rumah tangga (25), mempunyai dua anak dari dua perkawinan. Pernikahan pertama terjadi saat berumur 17 tahun dan kini anaknya berusia 7 tahun. Tahun 2008, saya menikah lagi dengan pria dari luar Indonesia dan mempunyai anak yang sekarang berumur 2 tahun.
Kakak perempuan saya mempunyai pacar kaya. Di rumah, ibu selalu membandingkan saya dengan kakak. Kakak saya, ibarat pohon berbunga dan saya ibarat pohon layu.
Pernikahan pertama tidak disetujui orangtua karena saya duduk di bangku kelas 2 SMA. Namun, orangtua terpaksa menikahkan karena takut kami "kecelakaan". Setelah menikah, kami tinggal di rumah orangtua saya tapi suami dipecat sebagai sales marketing. Di rumah, suami sangat rajin, mau membersihkan halaman, dan cepat tanggap kalau dimintai bantuan.
Setelah berbulan-bulan, suami diterima bekerja di pabrik. Gaji pertama dipakai melunasi utang. Kami lalu berkunjung ke rumah mertua dengan sisa gaji yang tak seberapa. Mertua saya hanya makan sehari sekali. Tak terasa, uang pun habis buat makan dan kami tidak bisa pulang karena tidak ada ongkos.
Hampir sebulan saya "terjebak" di rumah mertua, Bu. Makan pun jarang. Suami akhirnya tidak berkerja lagi, pinjam uang ke sana kemari hanya untuk makan. Cobaan pun tidak berhenti sebab suami ditangkap polisi. Dia ternyata mengambil uang setoran saat bekerja sebagai sales marketing. Sekarang saya mengerti kenapa suami dipecat!
Dua minggu suami di penjara, saya baru sadar saya hamil. Setelah berhasil mendapat pinjaman uang, saya pulang ke rumah orangtua. Ibu saya kaget mendengar cerita saya. Saya juga bilang bahwa saya sedang hamil dan meminta ibu memeriksakannya ke bidan. Tapi, ibu saya bilang, "Periksa saja sendiri, kan, udah punya suami."
Hati ini sedih, Bu, karena ibu saya tahu keadaan saya sedang sulit. Ibu memang mulai peduli tapi caranya salah. Dia bertanya bagaimana kalau kandungan saya digugurkan. Bayangkan Bu Rieny, apa pantas seorang ibu seperti itu?
Tak lama, suami bebas dari penjara setelah saya membuat perjanjian dengan perusahaannya. Tapi, delapan bulan mengandung, suami belum mendapat perkerjaan. Saya juga masih tinggal di rumah ibu saya.
Ibu saya bilang, "Coba dulu habis nikah langsung cerai saja, siapa tahu bisa dapat bos." Bu, saya sakit hati setiap hari disindir orangtua. Makan pun diam-diam. Setiap kali bertemu, ibu tidak pernah mau melihat muka kami. Berarti ibu saya membenci saya dan suami, kan, Bu?
Setelah saya melahirkan, saya dan suami memutuskan pergi. Satu tahun menghilang, tidak ada yang tahu kisah sedih ini. Suami yang dulu lembut, sekarang suka memukul, menendang, bahkan saya pernah hampir ditusuk dengan pisau. Saya takut dia khilaf, Bu.
Memang ada alasan mengapa suami seperti itu. Pertama, ia menganggur sekian lama. Kedua, saya bekerja di bar. Jujur Bu, saya menjual diri untuk makan. Pekerjaan itu pun diketahui dan disetujui suami. Saya jadi bingung, suami setuju tapi saya dipukuli. Saya tidak tahu, siapa yang benar dan siapa yang salah? Posisi saya selalu serba salah. Suami malas mencari kerja, bisanya hanya tidur, mabuk, dan memukuli.
Tak lama, saya kembali ke rumah orangtua dan mengatakan kalau saya mau cerai. Tapi, saya tidak cerita kalau saya punya pekerjaan haram. Ibu saya pun tampak senang. Sesudah bercerai, saya menitipkan anak ke ibu. Saya sendiri mengontrak rumah petak kecil yang sangat jauh dari rumah ibu saya agar perkerjaan saya tidak diketahui ibu.Saya masih bekerja di bar untuk kasih uang jajan anak yang saya titipkan ke ibu. Ibu saya selalu tanya uang terus tanpa mau tahu keadaan saya.
Sekarang saya bersyukur sudah mendapat jodoh yang baik, pekerjaan bagus, dan ibu saya sangat peduli pada saya. Saya masih menitipkan anak pertama ke ibu saya. Tapi, suatu hari saya mendengar ibu bicara kepada temannya, "Buat apa mengurus cucu kalau enggak ada duitnya?" Saya patah hati, Bu Rieny. Ternyata, ibu saya tidak ikhlas.
Dunia memang berputar, Bu. Kakak saya yang dulu sangat dijunjung tinggi, kini menikah dengan pria sederhana. Kasihan dia sebab sekarang sering disindir ibu saya. Sampai sekarang saya masih ingat dan benci ibu karena perlakuannya. Apa dosa saya? Apakah saya anak durhaka? Sampai sekarang pun, bila bertemu saya, hanya materi yang dibicarakan.
Saya ingin sekali bicara kepada ibu supaya jangan membicarakan materi terus-menerus. Atau, memamerkan keadaan saya kepada orang lain, tapi saya takut beliau marah. Tolong bantu saya mencari solusi, ya, Bu. Terima kasih banyak.
Ida - Jakarta
Jeng Ida Sayang,
Tidak banyak perempuan mendapat kesempatan kedua dari Allah. Artinya, menjual diri, dipukuli suami, masih menjalani profesi yang sama setelah berpisah, kemudian Allah bermurah hati mengirimkan jodoh. Dia yang kini bisa memberi Anda status terhormat, yaitu istri plus kehidupan yang juga mapan.
Di titik ini, saya ingin sekali bertanya, apakah ada satu hari, satu hari saja, yang Anda lewatkan untuk mengucap syukur Alhamdulillah pada Allah? Bila jawabannya iya, hemat saya, Anda adalah orang yang kurang pandai mensyukuri nikmat.
Mestinya, saat Anda menunaikan ibadah setiap hari, Anda patut mengucap syukur atas segala nikmat yang kini melimpahi Anda. Tinggal mengupayakan agar kebahagiaan Anda dapat dipertahankan dengan menjadi istri dan ibu yang baik, bukan? Terhormat, menjunjung tinggi martabat suami, dan mengasuh serta membesarkan anak dengan penuh tanggung jawab.
Dalam perjalanan hidup Anda, bukankah ibunda adalah orang yang memungkinkan Anda bekerja dan mencari nafkah? Kalau anak dijaga suami, dapat Anda bayangkan bagaimana proses perkembangan kepribadiannya dengan contoh seburuk ayahnya?
Saya sepakat bahwa seorang ibu seyogianya tidak terlalu berorientasi ke masalah keuangan alias matre. Akan tetapi, namanya juga manusia, pasti ada sisi positif dan negatifnya. Saat pikiran-pikiran negatif datang, benci, marah, dendam, bahkan pada ibunda, alihkan ke jasa beliau yang selalu ada untuk Anda di saat Anda membutuhkannya. Tidak susah, kok. Apalagi kalau Anda membiasakan diri mengendalikan pikiran, perasaan, dan akhirnya perkataan serta perilaku Anda untuk selalu dikemas positif.
Kalau ini masih belum cukup untuk memperbaiki perasaan Anda kepada ibunda, cobalah memahami latar belakang yang membuatnya seperti sekarang. Jangan-jangan ia dibesarkan dalam keterbatasan ekonomi. Sehingga ada banyak kepedihan yang ia rasakan dan ia ingin agar anak dan cucunya tidak mengalami hal yang sama. Tapi, caranya yang membuat Anda tidak nyaman.
Anda khawatir dijadikan objek untuk pamer? Boleh, kok, Anda ingatkan ibunda agar tidak mengatakan hal-hal yang menjurus pada pamer. Baik-baik dan sopan, ya? Ingatkan Bunda agar tidak menohok kakak Anda dengan kesederhanaan hidupnya, tanpa perlu lagi mengungkit-ungkit perasaan Anda dahulu waktu masih dengan suami pertama.
Bila Anda bisa membantu kakak dengan hal kecil yang bermakna, misalnya membayari uang sekolah anaknya, atau mengirimkan paket sembako secara teratur, pasti rasanya nyaman di hati. Bukankah sikap dermawan disukai Allah? Dan, kerabat dekat adalah prioritas, bukan? Pokoknya, keleluasaan yang ada kini, gunakan untuk memperbanyak hal baik, perbuatan, dan perkataan positif.
Ini semua akan kembali berlipat ganda sebagai kebaikan untuk Anda. Percaya, deh, kalau mendengar apa pun dari orang lain, misalnya gosip, saran saya cuma satu, abaikan! Ingat saja kata almarhum Gus Dur, "Gitu aja, kok, repot." Oke, Jeng Ida Sayang? Salam hangat.
KOMENTAR