Akhirnya, pernah liputan ke luar negeri?
Pernah ke Malaysia. Saya harus mendapatkan wawancara dengan Menteri Pertahanan Malaysia. Wah, pusing juga bagaimana caranya karena susah, kan. Untungnya di bandara Malaysia saya ketemu anggota DPR yang mau bertemu orang-orang di Departemen Pertahanan Malaysia. Mungkin karena saya sudah akrab sebelumnya, malamnya mereka mengajak bertemu dengan Menteri pertahanan Malaysia. Saya sampai sewa taksi Rp 400 ribu, meskipun belum ada jaminan bisa wawancara.
Dengan memakai setelan jas, saya menunggu selama 1,5 jam, sampai akhirnya dipersilakan masuk dan bisa ngobrol dengan menterinya. Padahal teve lain enggak bisa melakukan wawancara. Lucunya, teman sekolah saya di Malaysia ternyata keponakannya sang menteri . Tapi dia juga enggak mudah ketemu karena harus janji dulu dengan ajudannya. Hahaha.
Liputan paling berkesan?
Liputan paling berkesan waktu saya dilatih di Media Indonesia selama 3 bulan. Karena jadi wartawan geraknya harus cepat, saya minta izin ke orangtua supaya diperbolehkan naik motor. Setelah bernegoisasi akhirnya orangtua mengizinkan asal naik skuter Vespa. Itu juga utang dulu ke orangtua, dicicil pelan-pelan karena mereka ingin memberikan pelajaran tanggungjawab.
Nah, skuter warna merah itu sampai saya kasih nama, Baba O'Reilly karena saya sangat suka dengan musik The Who. Dengan vespa itu, liputan pertama saya sudah seperti reporter tahun 60-an. Baba sangat membantu dalam liputan. Uniknya, tanggal keluar dari pabriknya sama dengan ulang tahun saya, 21 Maret 2005. Pokoknya sudah sejiwa, deh. Karena sekarang jarang dipakai, Ibu sempat tanya kenapa enggak dijual saja. Saya jawab, "Masa bagian tubuh sendiri dijual." Hahaha. Dua hal yang paling disayangi sekarang, anjing saya bernama Foggie dan skuter Vespa, Baba.
Bagaimana hubungan Anda dengan orangtua?
Ayah, Dimpos Marbun dan Ibu, Rosliwaty Marbun berasal dari Sumatera Utara. Mereka memberikan kepercayaan yang besar pada anak-anaknya, makanya kami enggak berani melanggar kepercayaan itu. Kami bebas pulang jam berapa saja, asal bertanggungjawab. Kalau sekarang pulang malam, jelas alasannya karena wajahnya ada di teve, kan. Orangtua saya selalu menanamkan hal mendasar, harus bisa membedakan sesuatu, hidup itu kayak apa. Mereka selalu menerapkan agar kami selalu bercerita ke orangtua. Kalau enggak mau cerita ya sudah mereka tidak memaksa. Tapi suatu saat pasti kami cerita ke orangtua kalau ada masalah. Ujungnya, kan, kami memang mencari orangtua.
Ayah sosok pekerja keras, ya?
Ayah berasal dari desa yang sangat jauh di Sumatera Utara, pendidikannya STM tapi bisa sekolah ke Amerika. Berkat kerja keras dan kegagalan, beliau bisa seperti itu. Hal-hal seperti itu yang selalu saya pelajari, ternyata orang butuh kegagalan untuk mendapatkan kesuksesan.
Dulu beliau enggak bisa bahasa Inggris, pergaulannya dengan orang tertentu, lalu menikah dengan penghasilan sangat kecil. Kemudian mencoba jadi sopir tapi enggak keterima, akhirnya depresi. Kalaupun ada kerjaan harus bisa bahasa Inggris. Akhirnya dia belajar Inggris sendiri tanpa les karena enggak punya uang. Ketika diterima kerja, eh malah sampai bisa membawa keluarganya ke Amerika. Coba kalau dulu tidak gagal, belum tentu bisa ke Amerika. Intinya, jangan sedih dengan kegagalan. Ayah menjadi inspirasi saya karena sudah membuktikan dengan hidupnya. Jadi, kenapa harus banyak mengeluh.
Sudah punya pacar?
Pacar ada dari dunia yang sama, tapi belum memikirkan ke arah perkawinan. Kalau memang dikasih jodohnya pasti ada waktunya. Soal jodoh enggak akan sedetik terlambat dan sedetik terlalu cepat, kok.
Noverita K. Waldan
KOMENTAR