Bu Rieny, apa yang harus saya lakukan? Dia lelaki dan ayah yang baik. Selama ini, saya selalu merahasiakan pernikahannya. Sebagai wanita, begitu lemahkah saya? Mau saja dimadu dan dinikah siri? Tapi, hidup saya jauh lebih baik daripada dulu. Bu, beri saya nasihat apa yang harus saya lakukan? Terimakasih banyak.
Sari - Ponorogo
Sari Sayang,
Begitu kita mulai berdusta, seluruh hari yang ada di hadapan kita harus dirancang untuk menyempurnakan dusta yang sudah terucapkan atau telanjur dilakukan. Begitu seterusnya, sehingga perlahan tapi pasti, mulailah timbul emosi-emosi negatif menyertai hal-hal yang terkait dengan dusta tadi.
Pada awalnya, kita merasa ringan saja hidup dengan kebohongan yang kita bangun. Semua demi pencitraan diri yang positif sambil tetap menyadari bahwa yang kita lakukan bukanlah sesuatu yang seharusnya dibanggakan untuk dikerjakan.
Akan tetapi, syukur kepada Allah, menurut penelitian, hati nurani dalam sehari memanggil kita lebih dari 10 ribu kali. Tujuannya, mengingatkan what is good and what is bad. Ini terkait sikap, perbuatan, dan perkataan. Maka, lebih banyak orang yang kemudian memutuskan mencoba hidup lebih jujur dibandingkan yang tetap melakukannya.
Sumber kekuatan untuk akhirnya menjadi jujur datang dari pemahaman dan keyakinan tentang apa yang kita anggap baik dan apa yang kita anggap buruk. Bisa dari nilai-nilai kehidupan yang dianut, pengalaman pribadi, juga kebiasaan sehari-hari yang terwujud dalam adat istiadat dan norma bermasyarakat.
Seyogianya, yang paling berperan terlebih dahulu adalah "badan sensor" di dalam diri yang bersumber pada agama yang kita anut. Karena, saya yakin, agama pasti mengatur umatnya untuk tahu persis apa yang boleh dan yang tak boleh dilakukan. Manusia tentu selalu mempunyai peluang untuk memilih, apa yang terbaik buat hidupnya.
Mereka yang merasa tak mempunyai pilihan adalah orang yang tak memerdekakan dirinya untuk menumbuhkan rasa memiliki kehidupannya. Tentu saja ini melelahkan. Biasanya hal ini muncul dalam bentuk, "Saya lakukan ini untuk masa depan anak saya," atau, "Bagaimana saya harus menghidupi diri sendiri?", dan sejenisnya, yang biasanya dilakukan untuk memberi pembenaran terhadap tindakan yang dilakukan.
Saya amat prihatin atas cerita kehidupan Anda. Saya juga ikut merasa senang, akhirnya kehidupan Anda yang pahit berbuah banyak hal indah. Hemat saya, kalau Anda mau lebih dalam melihat masalah Anda, sebenarnya yang sedang tersentuh, kan, ego Anda?
Perempuan sering merasa suami adalah "miliknya" atau semacam properti pelengkap hidup. Bukan melihat dari sisi lain bahwa suami juga mempunyai banyak sisi kehidupan. Sisi yang tak selalu harus berdampak buruk bagi dirinya kalau sejak awal dia memahami konsekuensi keputusan yang ia ambil. Yaitu menikah dan memang dilandasi kenyataan-kenyataan tak lazim yang biasanya menyertai pilihan tadi.
Bukankah suami Anda tidak mendustai Anda dengan janji-janji bahwa Anda akan memperoleh status sosial layaknya istri yang dinikahi secara sah di hadapan hukum? Bukankah sejak awal ia adalah "pahlawan" Anda? Pria yang mengangkat tekanan beban ekonomi berat yang hampir selalu menghimpit kehidupan Anda?
KOMENTAR