Ibu Rieny Yth.,
Saya ibu dengan dua putra. Yang pertama 15 tahun dari suami pertama yang meninggal tahun 2003. Dan, yang kedua 5 tahun dari suami kedua. Suami kedua menikahi secara siri tahun 2005 di Jakarta. Suami adalah WNA, mantan majikan waktu saya menjadi TKW di Hong Kong. Dia baik, bertanggung jawab, dan menghargai saya.
Perjalanan hidup saya berliku dan pahit, Bu. Sejak bayi saya tidak diakui ayah. Setelah orangtua bercerai, saya diasuh nenek dalam kondisi serba kekurangan. Setamat SMP, saya bekerja membantu nenek menyekolahkan adik-adik dari ayah yang berbeda. Ibu saya tidak perhatian, jadi saya dan nenek mengambil alih peran sebagai orangtua.
Saya tidak tahu indahnya masa remaja. Saya benci laki-laki karena pengalaman buruk. Ketika menerima lamaran suami pertama, saya berpikir suami yang lebih tua dapat memberikan kasih sayang, perlindungan, dan hidup yang lebih baik.
Ternyata, suami kekanak-kanakan. Ketika saya mengandung, suami menikahi perempuan lain. Saya tahu setelah anak berumur 3 tahun. Saya benci dan marah pada diri sendiri. Hidup pun tidak lebih baik karena suami tidak suka bekerja.
Saya memutuskan pergi ke luar negeri karena tidak mempunyai pendidikan formal. Setelah di luar negeri, uang saya kirimkan untuk biaya hidup di rumah. Pertama berkirim uang, suami menangis. Dia malu karena harus istri yang bekerja. Saya pikir suami sadar, tapi ternyata dia memakainya untuk membiayai anak dari istri yang lain.
Bila saya tanya, dia marah dan mengancam. Anak saya ikut nenek dan dia cuma datang sesekali tapi selalu minta uang. Saya tidak berdaya dengan ancamannya, Bu, karena menyangkut keselamatan anak. Suami stroke saat saya mau pulang untuk liburan, Bu! Akhirnya, saya tidak jadi liburan karena uang dipakai biaya rumah sakit.
Di Hong Kong, saya bekerja di bujangan Jepang yang baik dan sederhana. Setelah suami meninggal, dia bertanya tentang hidup saya. Saya ceritakan semua sambil berurai air mata karena tidak kuasa menahan beban, Bu. Sikapnya lebih lembut. Dia mengajak jalan-jalan, sekadar beli CD atau makan di restoran. Dia mengingatkan saya menelepon rumah, memberi saya uang lebih buat jajan, pokoknya dia baik sekali.
Dia insinyur, punya pekerjaan bagus, menguasai tujuh bahasa, uangnya banyak, dan punya pacar cantik. Kadang saya mengkhayal tak berujung.
Saat kontrak selesai, dia memberi alamat e-mail dan mengatakan ingin bertemu. Saya menangis dan dia memberi uang 2 bulan gaji. Itulah kali pertama saya merasa sangat kehilangan dia. Sepuluh hari kemudian dia kirim surat dan membuat saya ge-er. Waktu itu saya sudah bekerja di majikan yang baru. Dia menemui saya setiap liburan. Saya bahagia walau dia bukan milik saya. Saya hamil setelah satu setengah tahun pacaran. Saya sudah lemas sebelum saya beritahu dia. Dia di Sri Lanka, saya di Hong Kong.
Dia bertanggung jawab, Bu, dan kami menikah siri di Jakarta. Dia selalu datang dan memberi nafkah. Dia bahkan membiayai sekolah anak pertama. Dia datang setahun sekali untuk melihat anak laki-lakinya dan keluarga saya. Tapi, tahun 2007 sampai 2008, hanya uang dan e-mail yang datang. Dia bilang belum bisa datang karena ada urusan.
Tahun 2009 dia datang dan bilang sudah menikahi pacarnya. Dia berjanji akan tetap akan seperti dulu. Sejak itu saya merasa kehilangan setengah hidup. Dia memang tidak berubah dan membelikan rumah bagus dan mahal. Anak saya pun bersekolah di sekolah favorit, tapi hati kecil tetap tidak tenang. Bagaimana masa depan anak saya? Bagaimana saya menjawab pertanyaannya yang semakin kritis.
Bu Rieny, apa yang harus saya lakukan? Dia lelaki dan ayah yang baik. Selama ini, saya selalu merahasiakan pernikahannya. Sebagai wanita, begitu lemahkah saya? Mau saja dimadu dan dinikah siri? Tapi, hidup saya jauh lebih baik daripada dulu. Bu, beri saya nasihat apa yang harus saya lakukan? Terimakasih banyak.
Sari - Ponorogo
Sari Sayang,
Begitu kita mulai berdusta, seluruh hari yang ada di hadapan kita harus dirancang untuk menyempurnakan dusta yang sudah terucapkan atau telanjur dilakukan. Begitu seterusnya, sehingga perlahan tapi pasti, mulailah timbul emosi-emosi negatif menyertai hal-hal yang terkait dengan dusta tadi.
Pada awalnya, kita merasa ringan saja hidup dengan kebohongan yang kita bangun. Semua demi pencitraan diri yang positif sambil tetap menyadari bahwa yang kita lakukan bukanlah sesuatu yang seharusnya dibanggakan untuk dikerjakan.
Akan tetapi, syukur kepada Allah, menurut penelitian, hati nurani dalam sehari memanggil kita lebih dari 10 ribu kali. Tujuannya, mengingatkan what is good and what is bad. Ini terkait sikap, perbuatan, dan perkataan. Maka, lebih banyak orang yang kemudian memutuskan mencoba hidup lebih jujur dibandingkan yang tetap melakukannya.
Sumber kekuatan untuk akhirnya menjadi jujur datang dari pemahaman dan keyakinan tentang apa yang kita anggap baik dan apa yang kita anggap buruk. Bisa dari nilai-nilai kehidupan yang dianut, pengalaman pribadi, juga kebiasaan sehari-hari yang terwujud dalam adat istiadat dan norma bermasyarakat.
Seyogianya, yang paling berperan terlebih dahulu adalah "badan sensor" di dalam diri yang bersumber pada agama yang kita anut. Karena, saya yakin, agama pasti mengatur umatnya untuk tahu persis apa yang boleh dan yang tak boleh dilakukan. Manusia tentu selalu mempunyai peluang untuk memilih, apa yang terbaik buat hidupnya.
Mereka yang merasa tak mempunyai pilihan adalah orang yang tak memerdekakan dirinya untuk menumbuhkan rasa memiliki kehidupannya. Tentu saja ini melelahkan. Biasanya hal ini muncul dalam bentuk, "Saya lakukan ini untuk masa depan anak saya," atau, "Bagaimana saya harus menghidupi diri sendiri?", dan sejenisnya, yang biasanya dilakukan untuk memberi pembenaran terhadap tindakan yang dilakukan.
Saya amat prihatin atas cerita kehidupan Anda. Saya juga ikut merasa senang, akhirnya kehidupan Anda yang pahit berbuah banyak hal indah. Hemat saya, kalau Anda mau lebih dalam melihat masalah Anda, sebenarnya yang sedang tersentuh, kan, ego Anda?
Perempuan sering merasa suami adalah "miliknya" atau semacam properti pelengkap hidup. Bukan melihat dari sisi lain bahwa suami juga mempunyai banyak sisi kehidupan. Sisi yang tak selalu harus berdampak buruk bagi dirinya kalau sejak awal dia memahami konsekuensi keputusan yang ia ambil. Yaitu menikah dan memang dilandasi kenyataan-kenyataan tak lazim yang biasanya menyertai pilihan tadi.
Bukankah suami Anda tidak mendustai Anda dengan janji-janji bahwa Anda akan memperoleh status sosial layaknya istri yang dinikahi secara sah di hadapan hukum? Bukankah sejak awal ia adalah "pahlawan" Anda? Pria yang mengangkat tekanan beban ekonomi berat yang hampir selalu menghimpit kehidupan Anda?
Saat kemapanan ekonomi sudah menjadi bagian hidup Anda, mulai muncul kebutuhan meraih status sosial. Hal ini menjawab kebutuhan Anda akan pengakuan lingkungan terhadap keberadaan Anda. Abraham Maslow, yang terkenal dengan teori hierarki motivasinya, menjelaskan bahwa kebutuhan manusia itu memang bertingkat. Dari kebutuhan dasar, naik ke kebutuhan sosial (untuk diakui statusnya dalam lingkup sosialnya), sampai akhirnya kebutuhan mengaktualisasikan diri.
Saran saya, berhentilah menutupi status Anda, terutama terhadap lingkup terdekat Anda. Jauh dari aib, kok. Anda kawin secara sah di hadapan Allah. Hanya saja, secara hukum, Anda memang lemah, bahkan lemah sekali. Anda tidak bisa meminta hak sebagai istri manakala suami kelak meninggal dunia. Dia bukan WNI dan Anda bukan warga negara Jepang, atau Hong Kong.
Buat saya, lebih baik Anda kawin siri daripada menjadi perempuan simpanan yang tak jelas statusnya. Kalau begini, bagaimana pertanggungjawaban di hadapan Allah nanti? Ceritakan kepada anak, apa dan bagaimana hidup yang Anda berdua jalankan. Tanpa perlu memberi pembenaran atas apa yang Anda lakukan.
Tak usah khawatir selama Anda mencoba menjadi ibu yang baik dan bermartabat di masyarakat. Anak biasanya mudah sekali memahami ibunya manakala ia memakai pikiran dan mata hatinya.
Anda memang mempunyai ikatan perkawinan dengan pria asing dan ini membuat perkawinan Anda terasa tidak lazim. Tetapi, jangan lupa, sebagai suami dan sebatas yang bisa ia lakukan, ia cukup bertanggung jawab, ya, Bu? Syukuri apa yang sudah Anda peroleh. Perbanyak upaya melakukan hal-hal baik bagi masyarakat di sekitar Anda. Dengan demikian Anda mempunyai tempat terhormat di mata masyarakat dan tidak dilihat negatif oleh lingkungan.
Jangan sedih, apalagi malu, cari uang sebanyak-banyaknya agar ada rasa aman yang lebih besar, dan sekolah anak pun jadi lebih terjamin. Oke? Salam sayang.
KOMENTAR