Selain hobi, apakah faktor uang juga yang membuat Anda serius terjun di dunia ini?
Enggak, ya. Di awal tahun 90-an, ada sebuah tabloid gratis yang sangat membantu membangun minatku untuk tetap serius menekuni hobi ini. Namanya Tabloid Icon. Ada satu rubrik di dalam tabloid yang concern terhadap lingkungan hidup ini yang selalu membahas bagaimana memanfaatkan sisa limbah lingkungan menjadi barang yang berguna. Karena itulah aku tidak pernah lagi menyia-nyiakan barang bekas yang ada di sekitarku.
Lantas bagaimana Anda sampai pada proses membuat buku?
Aku membuat buku sebenarnya lantaran suami, Bambang Damayanto (43), bekerja di penerbitan Tiga Serangkai (TS), Solo (Jateng). Melaluinya, aku banyak mengenal orang penting di sana. Kupikir-pikir, kenapa aku tidak menggunakan kesempatan ini dengan membuat buku saja. Selain ingin berbagi pengalamanan, ilmu, dan keterampilan kepada pembaca, aku juga amati, belum banyak penulis kita (lokal) yang menulis mengenai hal ini. Karena ya itu tadi, penerbit Indonesia lebih senang mengambil lisensi luar negeri untuk buku-buku seperti itu.
Pernah menemui kesulitan saat merampungkan buku Anda?
Enggak ada, sih. Namun setelah proposalku disetujui TS, aku sempat merasa kelimpungan karena pihak penerbit hanya memberikan waktu dua bulan untuk menyelesaikan enam judul buku, dimana empat judul pertama harus selesai dalam waktu dua minggu. Untuk hal itu kayaknya aku pantas mendapatkan penghargaan MURI, deh. Ha ha ha.
Kebetulan, aku sendiri yang mengerjakan buku ini dari mulai membuat desain sampul, layout halaman, ilustrasi, serta foto-fotonya. Dengan mengerjakan sendiri, aku bisa bebas berekspresi. Selain itu penerbit tentunya merasa diuntungkan karena mereka tidak perlu membayar fotografer, illustrator, dan model. Model-model yang ada di buku-buku itu orang-orang yang ada di rumahku sendiri, lo, seperti aku, anak-anakku -Shalma Alifa Zalfaya (8) dan Faheem Athar Faizi (5)-, pembantu, serta beberapa orang saudaraku. Untuk foto, penerbit cukup membayarku Rp 10 ribu perfoto. Sedangkan untuk model, gratis. Murah-meriah, kan.
Sejauh ini bagaimana hasil penjualan buku Anda?
Lumayanlah. Setiap judul buku dicetak 3 ribu buah dan terakhir aku cek setengah dari jumlah tersebut sudah terjual. Biasanya untuk buku pesanan (proyek), tirasnya ditentukan dari mereka dan bayarannya sistem putus, Rp 3 juta perjudul. Sebenarnya aku lebih senang begitu karena tidak perlu memikirkan buku itu terjual atau tidak. Memang, sih, bayarannya lebih murah. Kalau buku yang dijual melalui penerbit, aku harus menunggu berapa yang laku dulu.
Terlepas dari itu semua, aku sebenarnya tidak melihat uangnya. Aku sudah cukup senang bisa bisa mengukir sejarah dalam hidupku dengan membuat buku. Ya, minimal secara hitung-hitungan aku tidak dirugikan, lah.
Masih mau terus bikin buku?
Wah, masih banget. Di otakku ini masih banyak ide yang belum kukeluarkan.
Selain menulis buku, apa yang Anda lakukan di waktu luang?
Sebagai perempuan aku suka memanjakan tubuh dengan perawatan. Itu sangat diperlukan dalam pergaulan. Namun terlepas dari semuanya itu, sikap jujur dan apa adanya itu jauh lebih penting.
Perawatan seperti apa?
Setiap sebulan sekali aku melakukan facial di salon dan memanggil orang ke rumah untuk luluran. Selebihnya, perawatan lainnya aku lakukan sendiri di rumah karena saat ini, kan, sudah banyak juga produk perawatan tubuh yang dijual di pasaran. Selain itu aku juga berenang secara teratur.
Ester Sondang
KOMENTAR