Tidak hanya orang dewasa yang perlu mewaspadai TBC. Si kecil pun harus. Penyakit ini bisa timbul oleh anak yang mengisap udara yang mengadung kuman TBC. Beberapa gejala awalnya adalah si kecil gampang jatuh sakit, batuk terus-terusan, atau berat badan turun tanpa sebab.
Berbeda dengan TBC pada orang dewasa, TBC pada anak tidak menular. "Pada TBC anak, kuman berkembang biak di kelenjar paru-paru. Jadi, kuman ada di dalam kelenjar, tidak terbuka. Sementara pada TBC dewasa, kuman berada di paru-paru dan membuat lubang untuk keluar melalui jalan napas. Nah, pada saat batuk, percikan ludahnya mengandung kuman. Ini yang biasanya terisap oleh anak-anak, lalu masuk ke paru-paru," jelas Dr. dr. H. Muljono Wirjodiardjo, Sp.A(K), spesialis pulmonologi anak dari RSI Bintaro, Jakarta.
Gejala TBC sendiri tidak serta-merta muncul. Pada saat-saat awal, 4-8 minggu setelah infeksi, bisa jadi anak hanya demam sedikit. "Beberapa bulan kemudian, gejalanya mulai muncul di paru-paru. Anak batuk-batuk sedikit. Tahap berikutnya (3-9 bulan setelah infeksi), anak tidak napsu makan, kurang gairah, dan berat badan turun tanpa sebab. Juga ada pembesaran kelenjar di leher, sementara di paru-paru muncul gambaran vlek," lanjut Muljono.
Pada saat itu, kemungkinannya ada dua, apakah akan muncul gejala TBC yang benar-benar atau sama sekali tidak muncul. "Ini tergantung kekebalan anak. Kalau anak kebal (daya tahan tubuhnya bagus), TBC-nya tidak muncul. Tapi bukan berarti sembuh. Setelah bertahun-tahun, bisa saja muncul, bukan di paru-paru lagi, melainkan di tulang, ginjal, otak, dan sebagainya. Ini yang berbahaya dan butuh waktu lama untuk penyembuhannya," kata Muljono.
RIWAYAT PENYAKIT
Penyebab TBC adalah kuman TBC (mycobacterium tuberculosis). Sebetulnya, untuk mendeteksi bakteri TBC (dewasa) tidak begitu sulit. "Pada orang dewasa bisa dideteksi dengan pemeriksaan dahak langsung dengan mikroskop atau dibiakkan dulu di media," jelas Muljono. Yang sulit adalah mendeteksi TBC anak, karena tidak mengeluarkan kuman pada dahaknya dan gejalanya sedikit. "Diperiksa dahaknya pun tidak akan keluar, sehingga harus dibuat diagnosis baku untuk mendiagnosis anak TBC sedini mungkin," ujar Muljono menerangkan.
Yang harus dicermati pada saat diagnosis TBC anak adalah riwayat penyakitnya. "Harus dikorek, apakah ada riwayat kontak anak dengan pasien TBC dewasa. Kalau ini ada, dokter agak yakin anak positif TBC," lanjut Muljono. Gejala-gejala lain untuk diagnosa antara lain:
- Apakah anak sudah mendapat imunisasi BCG semasa kecil. "Atau reaksi BCG sangat cepat. Misalnya, bengkak hanya seminggu setelah diimunisasi BCG. Ini juga harus dicurigai TBC, meskipun jarang," kata Muljono.
- Berat badan anak turun tanpa sebab yang jelas, atau kenaikan berat badan setiap bulan berkurang.
- Demam lama atau berulang tanpa sebab. "Ini juga jarang terjadi. Kalaupun ada, setelah diperiksa, ternyata tipus atau demam berdarah."
- Batuk lama, lebih dari 3 minggu. "Ini terkadang tersamar dengan alergi. Kalau tidak ada alergi dan tidak ada penyebab lain, baru dokter boleh curiga kemungkinan anak terkena TBC."
- Pembesaran kelenjar di kulit, terutama di bagian leher, juga bisa ditengarai sebagai kemungkinan gejala TBC. Yang sekarang sudah jarang adalah adanya pembesaran kelenjar di seluruh tubuh, misalnya di selangkangan, ketiak, dan sebagainya.
- Mata merah bukan karena sakit mata, tapi di sudut mata ada kemerahan yang khas.
Pemeriksaan lain juga dibutuhkan diantaranya pemeriksaan tuberkulin (Mantoux Test, MT) dan foto. Pada anak normal, Mantoux Test positif jika hasilnya lebih dari 10 mm. "Tetapi, pada anak yang gizinya kurang, meskipun ada TBC, hasilnya biasanya negatif, karena tidak memberikan reaksi terhadap MT."
KUMAN KEBAL
Jika minimal tiga dari gejala di atas positif, dokter biasanya mencurigai anak kena TBC, meski belum tentu TBC, karena bukti lain tidak ada. Anak biasanya akan diberi obat anti-TBC selama 2-3 bulan dan dilihat perkembangannya. "Kalau membaik, misalnya berat badannya bertambah, napsu makan bertambah, atau jadi jarang sakit, dokter biasanya yakin bahwa anak positif TBC." Setelah itu, diteruskan dengan pengobatan untuk mencegah jangan sampai TBC kambuh lagi atau berkembang menjadi penyakit TBC yang lebih parah.
Akan tetapi, seandainya kondisi anak masih buruk setelah 3 bulan diberi obat anti-TBC, kemungkinannya ada dua, yaitu anak negatif TBC atau adanya multi-drugs resistance TBC (MDR TBC/kebal terhadap obat-obatan). "MDR ini yang sekarang menjadi masalah. Penyebabnya biasanya karena penderita TBC dewasa tidak teratur minum obat. Begitu agak enakan, lalu menghentikan minum obat, dan sebagainya. Akibatnya, kuman jadi kebal terhadap obat. Nah, jika ini menular ke anak-anak, juga akan membuat anak-anak tersebut mengidap MDR TBC," kata Muljono.
Jika ini yang terjadi, si kecil sebaiknya dirujuk ke RS atau dokter spesialis untuk melakukan pengamatan yang lebih intensif. "Dalam beberapa tahun terakhir, sudah mulai tampak tendensi peningkatan MDR berbarengan dengan banyaknya kasus TBC dewasa. Ditambah lagi maraknya kasus HIV-AIDS, yang membuat daya tahan tubuh turun, sehingga TBC mudah menyerang. Belum lagi faktor sosial dan gizi yang menambah kendala penanganan TBC pada anak."
HARUS SABAR
Prosedur pengobatan TBC anak yang pertama adalah dengan memberikan obat pembunuh kuman TBC. "Ini disebut pengobatan masa I (3 bulan pertama). Di masa I ini diharapkan sebagian besar kuman akan mati, jadi dipakai obat anti-TBC yang fungsinya membunuh kuman. Ibarat perang, pasukan komandonya dulu yang terjun," terang Muljono.
Tahap berikutnya adalah masa dimana kuman sudah masuk ke dalam kelenjar, sehingga obat pembunuh kuman tidak mempan lagi, bahkan kalau diberikan malah berbahaya karena bisa mengganggu fungsi liver. "Pada masa ini, diberikan obat-obatan yang fungsinya mengepung kuman yang ada di dalam kelenjar. Kalau kuman keluar, mati dia," lanjut Muljono.
Proses pengobatan berlangsung sekitar 6 bulan, dan terkadang ditambah 3 bulan pengobatan untuk mencegah kekambuhan. "Pengobatan harus teratur, tidak boleh berhenti. Kalau distop, bisa jadi kumannya akan muncul lagi dan resisten terhadap obat." Pengobatan TBC anak memang berbeda dengan TBC dewasa. "Pada orang dewasa, pengobatan 3 bulan bisa bersih kuman TBC-nya. Pada anak tidak bisa, karena tidak bisa memberikan obat sekaligus banyak dalam jangka waktu pendek. Akibatnya, pengobatan jadi agak lama. Orang tua harus sabar dan tidak bosan."
Yang juga harus dihindari adalah pemberian obat anti-TBC tanpa diagnosis yang benar. "Anak gampang sakit, batuk, tidak napsu makan, langsung diberi obat TBC. Ini sangat berbahaya, karena bisa berakibat resistensi kuman terhadap obat. Nah, sekarang kecenderungannya mulai seperti itu lagi."
WASPADAI ANGGOTA KELUARGA
Sumber penularan TBC ke anak adalah orang dewasa. Pada orang dewasa, pendeteksian TBC jauh lebih mudah, misalnya dengan rontgen. "Jadi, kalau ada kecurigaan ada orang dewasa di sekitar anak yang terkena TBC, bisa langsung di-follow up ke dokter spesialis," kata Muljono.
Yang sering diabaikan orang tua adalah ketika menerima pembantu atau pengasuh anak. Kebiasaan kita ketika menerima pembantu atau pengasuh anak adalah tidak pernah memerhatikan faktor kesehatannya. Tahu-tahu anak TBC, dan setelah dilacak, ternyata pengasuhnya yang menularkan. Biasanya ini muncul pada kalangan menengah ke atas. Untuk mencegahnya, Muljono menyarankan agar saat penerimaan pembantu atau pengasuh anak, dilakukan juga pemeriksaan kesehatan. "Misalnya pemeriksaan rontgen. Ini akan mencegah penularan TBC pada anak-anak sekian persen."
Namun, kata Muljono, tentu tak cuma pembantu atau pengasuhnya yang berisiko menularkan TBC pada anak. "Anggota keluarga lain, semisal kakek atau nenek, bahkan orang tua sendiri juga harus mewaspadai kemungkinan terkena TBC."
Yang juga penting adalah pemberian imunisasi BCG. "Imunisasi ini bisa mencegah TBC yang berat, seperti TBC otak dan lain-lain."
Masalahnya, umumnya orang tua tidak percaya anaknya terkena TBC. "Mereka syok, katanya di rumah semua sehat. Padahal, mengingat sumber penularan dan sebagainya, bisa saja orang di rumah sehat, tapi ketika jalan-jalan di mal ketemu penderita TBC. Jadi, orang tua sebaiknya tidak usah saling menyalahkan, lebih baik anak diperiksa dan diobati."
Dok. Nova
KOMENTAR