Ibu Rieny, apa yang harus saya lakukan? Kadang saya ingin memberikan semua bukti-bukti ini kepada yang berwenang untuk membalas semua perlakuannya. Tetapi, hati kecil saya bilang "Adilkah ini?" Mohon Bu Rieny memberikan saran yang terbaik buat saya. Terima kasih.
X di M
Ibu X Yth.,
Beberapa waktu ini saya sering mendapat surat, e-mail, maupun ibu-ibu yang datang berkonsultasi langsung dengan saya, terkait perkawinan siri maupun hanya teman dekat, alias kumpul kebo. Saya melihatnya, banyak di antara kita, perempuan Indonesia yang sedang berada dalam fase transisi antara perempuan tradisional dan keinginan untuk hidup ala manusia modern. Tentunya modern dengan kriteria ngawur. Bagaimana tidak ngawur, kalau aturan agama, norma, dan adat juga dilanggar?
Perkawinan mulai tidak dianggap sebagai ikatan moral yang berdampak sosial bagi keduanya. Sehingga kebutuhan untuk memproklamasikan kepada khalayak, "Ini lho, saya istrinya Pak Boy," misalnya, sudah tidak menjadi prioritas bagi beberapa perempuan. Lebih penting mendapatkan rasa aman secara ekonomi karena dibiayai hidupnya, secara psikologis karena dihujani rayuan yang gombal sebenarnya. Atau, malahan secara biologis alias ada partner tetap untuk memperoleh kepuasan seksual.
Sayangnya, perempuan sering lupa bahwa berstatus seakan-akan di bawah bayang-bayang ini, tak ada pengakuan hukum dan sosial. Serta lebih banyak merugikan ketimbang menguntungkan si perempuan. Kawin siri tak memberi Si Perempuan akses ke harta suaminya. Tak bisa juga membuat ia menjadi ayah di hadapan hukum karena ia cuma ayah biologis. Nah, karena tak mempunyai hubungan legal, Si Anak juga tidak berhak atas warisan ayahnya kalau Si Ayah meninggal.
Sifat kesementaraan, yang pada saat awalnya terasa memberi banyak kelonggaran, nyatanya tidak memberikan rasa aman pada perempuan karena kendali lalu sepenuhnya ada pada Si Pria. Kendali untuk memutuskan kapan Si Perempuan kemudian "expired" dan diputuskan begitu saja. Penyebab utama bukanlah bosan melainkan ketahuan istri pertama. Seperti Bapak kesayangan Bu X ini.
Jangan lupa, laki-laki yang gemar melakukan ini, di dasar hatinya adalah laki-laki pengecut yang membiarkan syahwatnya menguasai diri, sembari di saat yang sama, takut menanggung risiko, sehingga ia memilih "main belakang" saja. Maka, saat ketahuan, ia pasti tak usah diminta memilih lagi, langsung bersikap seolah-olah tak ada apa-apa. Tragis memang, layaknya kisah sinetron.
Pasti Bu X punya banyak sekali cerita bagaimana lihainya Bapak pejabat itu membuat Anda merasa bahwa Anda adalah cinta sejati Sang Bapak. Padahal, saat ia menceritakan dua perselingkuhannya itu, sebenarnya, sadar atau tak sadar, ia sedang memperingatkan Anda bahwa laki-laki yang Anda gauli ini adalah laki-laki yang sudah biasa tidak setia.
Akan tetapi, namanya saja sedang jatuh cinta, kisah ini tidak dianggap sebagai "early warning system" atau peringatan dini tentang kualitas kekasih yang sesungguhnya. Tapi, malah membuat si perempuan lebih "kelepek-kelepek" lagi. Haduh, jujur banget Si Bapak, aku bangga atas kejujurannya.
Maka, Bu X, sebenarnya semua tanda-tanda yang bisa menyiratkan berakhirnya hubungan Anda dengan Bapak pejabat itu sudah datang ke Anda. Tidak dihubungi lagi, saat dihubungi tidak merespons, bahkan ketika akhirnya ketemu pun malah dimarah-marahi. Kalau Anda bermaksud membina hubungan yang langgeng dengan Si Bapak tadi, niat baik Anda ini tidak dimiliki olehnya. Maka, kebaikan-kebaikannya rupanya dianggapnya merupakan imbal balik yang sepadan dengan apa yang sudah Anda persembahkan padanya. Kalau Anda melakukan itu dengan hati dan cinta, maka baginya, Anda hanya substitusi atau pengganti sementara dari apa yang tak ia peroleh dari istrinya.
Berhati-hatilah mengatakan istrinya jahat karena memisahkan Anda dengan suaminya dengan segala cara. Boleh juga, lho, sesekali Anda berpikir, bagaimana perasaan Anda kalau Anda berada dalam posisinya? Masa, sih, Anda pulang kampung, lalu ada perempuan lain yang datang untu menggantikan Anda di rumah Anda sendiri? Menyakitkan, bukan?
Maka saran saya, tutup buku saja, deh, Bu X. Tekadkan untuk memulai hidup baru, kali ini dengan tekad untuk mandiri. Lakukan apa saja yang halal agar bisa hidup berdua dengan anak semata wayang Anda. Jadikan affair dengan "Bapak Pejabat" tadi sebagai sebuah peringatan agar tidak menjalin hubungan dengan pria beristri. Jangan sekali-sekali mau kawin siri karena hukum di Indonesia kurang memberi kekuatan ke Si Istri pada perkawinan sejenis ini. Ayo, Bu, yang kuat, ya? Lebih baik hidup bermartabat daripada punya harta tetapi tanpa status sosial yang jelas, bukan? Salam sayang.
KOMENTAR