Dear Ibu Rieny,
Saya janda (43), tinggal di kota M. Sebenarnya saya telah menikah siri dengan pejabat dua tahun lalu. Dia mengubah pendapat saya tentang lelaki karena pernikahan yang penuh kekerasan. Ia yang menolong proses hukumnya. Saya tidak memenjarakan mantan suami karena putri semata wayang baru berusia 13 tahun. Anak saya yang meminta saya bercerai karena tidak tega melihat saya disiksa. Bapak ini datang di saat saya terpuruk. Dia selalu memperhatikan saya dan akhirnya kami sering jalan bertiga.
Dia bercerita tentang rumah tangganya. Rupanya, istrinya kurang perhatian karena sibuk dengan rekan-rekan dan sanak famili. Semua yang saya lakukan, dia bilang tidak pernah diperoleh dari istrinya. Saya sempat bertanya ke teman mereka, kabarnya istrinya terlalu judes dan selalu negative thinking.
Bapak ini berterus terang pernah berselingkuh dua kali dengan sahabat istrinya yang sudah bersuami. Jadi, meski berselingkuh selama dua dan tiga tahun, tidak ada kecurigaan. Saya jatuh cinta dengan bapak ini karena dia baik dan perhatian. Dia sering mengatakan kenapa tidak dari dulu kami bertemu karena ternyata sekolahnya berdekatan dengan rumah saya.
Dia mengajak saya menikah siri dan berjanji adil. Dia menepati janjinya dan semua berjalan enak dan aman. Namun, kebahagiaan dan ketenteraman cuma berjalan setahun karena istrinya mengetahui hubungan kami. Dia tidak menegur suaminya tapi meneror saya lewat telepon.
Sejak itu, hubungan kami berjalan tidak seperti biasanya karena dia ketakutan. Padahal dulu bila istri dan anaknya pulang kampung, saya dijemput dan disuruh menginap di rumah mereka di kota M, bukan di rumah dinas di T. Dia ingin dekat dengan saya, begitu katanya.
Jika dia sakit atau kecelakaan, saya yang dipanggilnya. Saya merawat dia dan dia berkata sambil mengusap kepala saya pas saya merawat luka di kakinya, "Terima kasih kamu hadir dalam hidup saya. Saya tidak pernah dirawat seperti ini." Saya tidak percaya dan dia memperlihatkan video saat dia menyuruh istrinya mengobati luka kakinya. Istrinya bilang, "Jijik lihat luka seperti itu, obati saja sendiri."
Saya kasihan sekali, Bu. Kalau ingat semua ini, saya rindu untuk dekat dan melayani dia karena saya masih cinta. Tapi, kalau ingat betapa pengecutnya, saya rasanya tega melakukan apa pun untuk menghancurkan dia.
Sudah hampir enam bulan ini dia tidak datang ke rumah saya. Saya telepon tidak pernah diangkat. Saya pernah membeli nomor lain dan ia mengangkat telepon dari saya. Saya bertanya, "Apa salah saya?" Dia menjawab sambil marah, "Sementara hilangkan dulu namanya dari hati saya, bakar semua foto-foto kami, dan lenyapkan video pernikahan kita." Dulu dia tidak pernah membentak saya, Bu. Saya tidak menuruti semua permintaannya untuk memusnahkan barang bukti tersebut. Tapi, dia tidak pernah bilang talak.
Saya manusia biasa yang kadang kangen. Akhirnya, saya melihatnya di televisi lokal karena dia lumayan sering muncul dengan kegiatannya sebagai pejabat. Istrinya berusaha memisahkan kami dengan segala cara, termasuk dukun. Saya tahu benar istrinya memang senang sekali ke tempat seperti itu. Sudah tiga bulan saya tidak pernah menelepon dia. Saya pernah sakit dan anak saya mengabari lewat SMS, dibalas pun tidak. Padahal, setahun lalu, saat saya sakit dan dia di luar kota, dia terbang kembali ke kota kami dan menunggui saya.
Saya tidak memiliki anak dengan lelaki ini. Sebenarnya, saya mempunyai sahabat wanita karier yang juga pejabat dan tinggal di kota M. Dia sering menangani kasus yang saya alami kini. Ibu itu tahunya saya masih single parent. Saya pernah bercerita, ada teman yang mengalami, padahal cerita itu tentang saya sendiri. Dan, Ibu ini bilang, di instansi suami siri saya, pernikahan resmi maupun siri hukumnya sama, asalkan ada bukti nyata berupa video dan foto.
Ibu Rieny, apa yang harus saya lakukan? Kadang saya ingin memberikan semua bukti-bukti ini kepada yang berwenang untuk membalas semua perlakuannya. Tetapi, hati kecil saya bilang "Adilkah ini?" Mohon Bu Rieny memberikan saran yang terbaik buat saya. Terima kasih.
X di M
Ibu X Yth.,
Beberapa waktu ini saya sering mendapat surat, e-mail, maupun ibu-ibu yang datang berkonsultasi langsung dengan saya, terkait perkawinan siri maupun hanya teman dekat, alias kumpul kebo. Saya melihatnya, banyak di antara kita, perempuan Indonesia yang sedang berada dalam fase transisi antara perempuan tradisional dan keinginan untuk hidup ala manusia modern. Tentunya modern dengan kriteria ngawur. Bagaimana tidak ngawur, kalau aturan agama, norma, dan adat juga dilanggar?
Perkawinan mulai tidak dianggap sebagai ikatan moral yang berdampak sosial bagi keduanya. Sehingga kebutuhan untuk memproklamasikan kepada khalayak, "Ini lho, saya istrinya Pak Boy," misalnya, sudah tidak menjadi prioritas bagi beberapa perempuan. Lebih penting mendapatkan rasa aman secara ekonomi karena dibiayai hidupnya, secara psikologis karena dihujani rayuan yang gombal sebenarnya. Atau, malahan secara biologis alias ada partner tetap untuk memperoleh kepuasan seksual.
Sayangnya, perempuan sering lupa bahwa berstatus seakan-akan di bawah bayang-bayang ini, tak ada pengakuan hukum dan sosial. Serta lebih banyak merugikan ketimbang menguntungkan si perempuan. Kawin siri tak memberi Si Perempuan akses ke harta suaminya. Tak bisa juga membuat ia menjadi ayah di hadapan hukum karena ia cuma ayah biologis. Nah, karena tak mempunyai hubungan legal, Si Anak juga tidak berhak atas warisan ayahnya kalau Si Ayah meninggal.
Sifat kesementaraan, yang pada saat awalnya terasa memberi banyak kelonggaran, nyatanya tidak memberikan rasa aman pada perempuan karena kendali lalu sepenuhnya ada pada Si Pria. Kendali untuk memutuskan kapan Si Perempuan kemudian "expired" dan diputuskan begitu saja. Penyebab utama bukanlah bosan melainkan ketahuan istri pertama. Seperti Bapak kesayangan Bu X ini.
Jangan lupa, laki-laki yang gemar melakukan ini, di dasar hatinya adalah laki-laki pengecut yang membiarkan syahwatnya menguasai diri, sembari di saat yang sama, takut menanggung risiko, sehingga ia memilih "main belakang" saja. Maka, saat ketahuan, ia pasti tak usah diminta memilih lagi, langsung bersikap seolah-olah tak ada apa-apa. Tragis memang, layaknya kisah sinetron.
Pasti Bu X punya banyak sekali cerita bagaimana lihainya Bapak pejabat itu membuat Anda merasa bahwa Anda adalah cinta sejati Sang Bapak. Padahal, saat ia menceritakan dua perselingkuhannya itu, sebenarnya, sadar atau tak sadar, ia sedang memperingatkan Anda bahwa laki-laki yang Anda gauli ini adalah laki-laki yang sudah biasa tidak setia.
Akan tetapi, namanya saja sedang jatuh cinta, kisah ini tidak dianggap sebagai "early warning system" atau peringatan dini tentang kualitas kekasih yang sesungguhnya. Tapi, malah membuat si perempuan lebih "kelepek-kelepek" lagi. Haduh, jujur banget Si Bapak, aku bangga atas kejujurannya.
Maka, Bu X, sebenarnya semua tanda-tanda yang bisa menyiratkan berakhirnya hubungan Anda dengan Bapak pejabat itu sudah datang ke Anda. Tidak dihubungi lagi, saat dihubungi tidak merespons, bahkan ketika akhirnya ketemu pun malah dimarah-marahi. Kalau Anda bermaksud membina hubungan yang langgeng dengan Si Bapak tadi, niat baik Anda ini tidak dimiliki olehnya. Maka, kebaikan-kebaikannya rupanya dianggapnya merupakan imbal balik yang sepadan dengan apa yang sudah Anda persembahkan padanya. Kalau Anda melakukan itu dengan hati dan cinta, maka baginya, Anda hanya substitusi atau pengganti sementara dari apa yang tak ia peroleh dari istrinya.
Berhati-hatilah mengatakan istrinya jahat karena memisahkan Anda dengan suaminya dengan segala cara. Boleh juga, lho, sesekali Anda berpikir, bagaimana perasaan Anda kalau Anda berada dalam posisinya? Masa, sih, Anda pulang kampung, lalu ada perempuan lain yang datang untu menggantikan Anda di rumah Anda sendiri? Menyakitkan, bukan?
Maka saran saya, tutup buku saja, deh, Bu X. Tekadkan untuk memulai hidup baru, kali ini dengan tekad untuk mandiri. Lakukan apa saja yang halal agar bisa hidup berdua dengan anak semata wayang Anda. Jadikan affair dengan "Bapak Pejabat" tadi sebagai sebuah peringatan agar tidak menjalin hubungan dengan pria beristri. Jangan sekali-sekali mau kawin siri karena hukum di Indonesia kurang memberi kekuatan ke Si Istri pada perkawinan sejenis ini. Ayo, Bu, yang kuat, ya? Lebih baik hidup bermartabat daripada punya harta tetapi tanpa status sosial yang jelas, bukan? Salam sayang.
KOMENTAR