Tahun 2013, Mas Bambang jadi Wakil Ketua KPK. Sejak masih di LBH, Mas Bambang sudah sangat geram pada para koruptor. Jadi, bicara antikorupsi bukanlah hal baru buatnya. Dia juga salah satu pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW). Jadi, bekerja di KPK merupakan lanjutan perjuangan dari cita-cita Mas Bambang.
Mas Bambang juga tak pernah membawa pekerjaan ke rumah dan tak pernah menceritakan kasus-kasus yang sedang ditangani KPK pada kami. Seheboh apa pun kasusnya, kalau anak-anak bertanya, dia menjawab, "Kalian konsentrasi belajar saja, mempersiapkan diri untuk jadi pemimpin-pemimpin masa depan. Tidak usah bertanya tentang urusan Abi di kantor." Itu memang cara Mas Bambang agar urusan kantor memang stop di kantor. Di rumah, dia adalah kepala keluarga, ayah, serta suami. Dia ingin melepas "topi" KPK sebelum masuk rumah.
Jadi, anak-anak hanya mengikuti kasus KPK dari media. Ketika Mas Bambang di-bully di media, mereka ikut membela, terutama Izzat yang sangat kritis. Saya rasa dia memang pantas berada dalam situasi penangkapan itu. "Kamu sudah memantaskan diri, sehingga dipilih Allah untuk berada di situasi itu," puji saya pada Izzat.
Tidak Heboh
Saya sendiri, sejak awal mengenal Mas Bambang, memang mengalami beberapa momentum yang membuat saya belajar siap pada risiko apa pun sebagai istri seorang aktivis di bidang hukum. Kadang-kadang, dia berhadapan langsung dengan aparat, termasuk saat reformasi tahun 1998. Isu-isu penculikan saat itu sangat dekat dengan kami.
Saat itu, Mas Bambang pernah disarankan untuk mengungsi karena teman-teman aktivis lain mulai diciduk, entah dibawa ke mana. Namun, saya katakan padanya tak perlu keluar rumah. "Kalaupun mau menculik, sesungguhnya mereka sudah ada di sekitar kita. Malah jadi tak aman ketika keluar rumah. Tetaplah di rumah bersama kami, supaya kami tahu siapa yang datang mengambil Abi."
Selama Mas Bambang bekerja di KPK, sejauh ini tidak ada teror yang kami dapat. Kalau soal penyadapan telepon, wallahualam. Situasi segenting apa pun, menurut saya kalau tidak kita besar-besarkan, bisa dijalani apa adanya dan kita bisa lebih jernih berpikir. Selain itu, akan lebih mudah bagi kita untuk menata diri dan perasaan. Sebaliknya, kalau dibesar-besarkan, kita jadi panik sendiri. Maka, ketika teman-teman bertanya bagaimana perasaan saya atas penangkapan Mas Bambang, saya merasa ini bukan sesuatu yang heboh.
Menjalankan Skenario
Saya betul-betul menggunakan kesempatan penangkapan Mas Bambang untuk proses pembelajaran bagi anak-anak. Di kepala, saya gambarkan mereka adalah calon pemimpin-pemimpin masa depan. Jadi, mereka tetap dalam kondisi sigap, tidak merasa sedih, khawatir, dan merasa bahwa segala sesuatu itu sudah diskenariokan Allah. Saya, Mas Bambang, dan anak-anak sudah siap apa pun yang akan terjadi. Saya menghayati bahwa hidup ini adalah skenario, jadi saya sekarang sedang menjalani skenario yang sudah ditetapkan Allah.
Daun kering jatuh di bumi saja tak mungkin tanpa sepengetahuan Allah, apalagi momentum ini yang menurut sebagian besar orang luarbiasa. Pasti ini skenario Allah. Jadi, kami pandai-pandai saja menjalankannya sehingga hikmahnya bisa kami dapat. Kalau ditanya apakah saya dan anak-anak yakin Mas Bambang tak bersalah, menurut saya Mas Bambang bukan malaikat. Dia manusia sama seperti kita semua, yang pasti punya kesalahan, disadari atau tidak. Saya tak mau mengatakan dia clean, karena saya memang tidak tahu. Siapa tahu dia khilaf.
Namun, sepengetahuan saya, selama ini setiap kali saya tanya dia selalu menjawab, "Insya Allah Abi selalu berada di koridor yang benar." Itu cukup untuk menenangkan saya, tapi bukan berarti saya bisa membabi buta mengatakan dia clean. Siapa pun, bahkan polisi yang menangkapnya pun, belum tentu bersih. Jadi, untuk urusan hukum, kami ikuti saja prosesnya, dan saya berdoa semoga ini tidak ada rekayasa. Kalau memang dia bersalah secara hukum, silakan saja diproses dan kami ikhlaskan dia untuk dihukum.
Itu juga akan jadi pembelajaran besar bagi kami. Untuk ke depan, anak-anak harus lebih hati-hati. Jadi, saya tidak mau memalaikatkan Mas Bambang. Dia sama seperti kita, kok. Mungkin saja ada keteledoran, tapi mudah-mudahan kasus ini ditangani secara profesional, bukan sebuah rekayasa untuk menyalahkan dia. Kalau ditanya dari mana saya bisa mendapatkan cara berpikir dan mendidik anak-anak yang seperti sekarang, saya rasa dari proses belajar setiap level kehidupan yang harus dijalani untuk memantaskan diri.
Memantaskan diri merupakan bahasa motivasi positif yang luarbiasa. Kalau kita bisa memantaskan diri, kualitas diri akan terus bertambah. Dengan skenario apa pun (dari Tuhan), berpikirlah positif dan segera mengambil peluang. Itulah pemantasan diri. Dengan melakukan ini, alhamdulillah beban saya lebih ringan. Doakan saja agar kami bisa terus belajar dari proses kehidupan ini agar bisa menjadi lebih baik. (TAMAT)
Hasuna Daylailatu
KOMENTAR