Ibu Rieny Yth.,
Saya wanita (38) dan dikaruniai dua putri berusia 10 tahun dan 5 tahun. Saya menikah hampir 12 tahun dan merasa tidak bahagia. Alasannya karena selama ini kami belum mandiri. Suami masih dibantu untuk keperluan makan oleh orangtua saya. Suami pernah bekerja selama tujuh tahun lalu ia berwiraswata tetapi tidak lama dan akhirnya tidak bisa memberikan nafkah secara layak. Uangnya hanya cukup untuk membayar PAM.
Bukannya saya tidak memberikan motivasi dan mencari jalan keluar, Bu. Saya selalu bersabar mencari pencerahan dan penguatan diri dengan mengikuti pengajian. Akan tetapi, saya mulai jenuh dan capai karena suami tidak memotivasi diri untuk menjadi pencari nafkah. Akhirnya kami sering ribut dan buntutnya, dia pergi dari rumah.
Sekarang, saya bekerja apa adanya. Penghasilan hanya cukup untuk biaya transpor ke kantor, bayar bulanan, dan kalau ada sisa untuk kebutuhan anak. Makan masih dibantu orangtua. Setelah kejadian itu, suami tinggal di rumah orangtuanya. Kadang dia masih mengantar anak ke sekolah dan main ke rumah saya. Tapi, ia tidur di rumah orangtuanya. Saya tidak memintanya tinggal di rumah lagi karena ingin dia berpikir bagaimana menghidupi keluarga. Tetapi, sepertinya tidak ada perubahan.
Bu Rieny, apa yang harus saya lakukan, ya? Sudah bertahun-tahun dia tidak menafkahi secara layak. Bila saya bercerai akankah menjadi lebih baik? Ada dan tiada suami, saya tetap melakukan semua sendiri. Tetapi, saya khawatir di masa tua nanti saya hidup sendiri. Demikian saja Bu, terimakasih atas saran dan nasihat dari Ibu Rieny. Mohon identitas dan nama dirahasiakan ya, Bu.
Ibu Galau- Somewhere
Ibu Galau Yth.,
Apakah Ibu menikah karena takut hidup sendiri di masa tua? Atau, ada mimpi lain yang ingin diwujudkan dengan mengikatkan diri pada seorang lelaki? Jawabannya mestinya kemudian memengaruhi keputusan yang kelak akan Anda ambil, terus atau bercerai. Kalau Anda katakan takut, sebenarnya tidak apa-apa juga. Artinya, saya tak akan lalu mengatakan, "Wah, kok, lemah banget, sih, Bu Galau ini," karena penghayatan kita tentang eksistensi diri tentu sifatnya sangat pribadi.
Beberapa klien saya yang memutuskan bercerai dari suaminya yang tukang bohong, atau suka berselingkuh, atau malah suka memukul, merasa sakit di hatinya di awal perceraian. Penyebabnya adalah adanya perasaan, sesuatu terenggut dengan paksa dari hati mereka. Bukan berarti mereka salah membuat keputusan, melainkan karena sudah sekian lama suaminya menjadi bagian dari hidupnya. Ada rutinitas yang dijalani bersama dan ketika itu menghilang, dibutuhkan lagi penyesuaian dengan status baru yang disandang.
Tidak mudah juga menyikapi reaksi lingkungan yang tak selalu membuat seorang janda bisa tetap merasa nyaman. Ada saja komentar-kometar negatif yang memerahkan telinga, sehingga kita butuh nyali besar untuk membiasakan diri dengan keusilan orang di sekitar kita. Oleh karena itu, saya selalu mengingatkan mereka yang mau bercerai, pikir dulu baik-baik. Kalau terasa susah mengubah kodisi yang ada sehingga butuh upaya yang melelahkan, biasanya hasilnya seimbang, kok.
Rekonsiliasi, penyatuan kembali suami-istri, dengan komitmen baru, gaya komunikasi baru serta harapan-harapan baru, biasanya terasa jauh lebih membahagiakan, sehingga kita lalu berpikir tak apa-apa, deh, lelah, ternyata hasilnya menyenangkan, kok.
Maka, saran pertama saya, Anda tanya diri sendiri, yang disebut punya suami itu sebetulnya memenuhi kebutuhan apa di dalam diri Anda? Kalau sejak awal menikah, Anda sadari benar bahwa dari sisi keuangan, kompetensi suami untuk membiayai keluarga memang meragukan, seyogianya Anda tak perlu galau dengan kenyataan yang ada kini, bukan? Dari awal, suami, kan, tidak menyembunyikan bahwa dia memang tak pandai cari uang.
Namun karena Anda punya cinta menggebu dan harapan yang tinggi, saat itu, sekali lagi, saat akan menikah dulu, Anda berharap bahwa sejalan dengan bergulirnya perkawinan, suami akan berubah menjadi giat cari uang dan mau bekerja lebih keras.
Sayangnya, ada laki-laki yang watak dasarnya bukan fighter (pejuang), melainkan tipe pleaser (penikmat). Dia bukan sosok yang gigih dan mau lelah mencari uang untuk keluarga. Ia lebih memburu kesenangan hidup dengan bersantai-santai saja.
Kawin dengan lelaki seperti ini tidak harus berakhir dengan perceraian. Namun, istrinya memang harus jadi penyeimbang yang gigih, sehingga ciri fighter lekat pada dirinya. Maka, kalau Anda bisa mengambil alih tugas dan tanggung jawab menafkahi keluarga, perkawinan mestinya bisa tetap berlangsung.
Namun, perkawinan sehat tentunya berisikan suami dan istri yang mau mengembangkan kualitas diri secara berkesinambungan untuk membuat dirinya lebih pandai, pasanganya lebih bijaksana, dan anaknya punya lingkungan tumbuh kembang yang baik, bukan? Maka, dalam perjuangan untuk hidup tadi, hal-hal ini juga harus terpenuhi.
Banyak bicara dari hati ke hati, saling mendukung kemajuan pasangan, memberi pujian kalau terlihat dia sudah berusaha keras, mengingatkan dengan tetap ada hormat pada pasangan bahwa dia belum "keluar keringat" alias belum optimal bekerja, adalah hal-hal positif yang terus-menerus harus dijadikan warna dalam inter aksi suami dan istri.
Sayangnya, saat suami terlihat santai dan malah lari dari tanggung jawab, hati Anda yang marah, kemudian mengeluarkan kata-kata tajam yang menggarisbawahi ketidakmampuannya. "Malas banget, sih? Kalau tidak kerja, siapa yang mau kasih uang, memangnya enggak malu minta sama bapak ibuku terus? Uang dari Mas cuma cukup buat bayar PAM, tauuu?" Akhirnya, Anda berubah menjadi sumber ketidaknyamanan suami dan reaksi yang sangat wajar yang terjadi, menjauh saja.
Apa boleh buat, Jeng, saya harus katakan bahwa kalau Anda mau terus, jadikan diri Anda seorang fighter, sambil membuat suami mendekat dan beri ia perasaan bahwa Anda menerima dia apa adanya. Bila hubungan sudah mulai diwarnai oleh kedekatan, hormat, serta cinta kasih yang melimpah, mulai, deh, dengan program peningkatan keualitas diri seperti yang saya ceritakan. Kali ini dengan kemasan yang positif, ya?
Kepribadian seperti suami itu butuh pengakuan, butuh pujian, karena dia memang tidak pede abisss! Baru setelah ia percaya bahwa dirinya mulai berharga di hadapan istrinya, lalu menikmati pujian dan penghargaan juga banyak tidak enaknya, kok. Pelan tapi pasti akan tumbuh keinginan untuk terus meningkatkan kompetensinya sebagai suami dan ayah. Nah, kesabaran dan ketulusan untuk tidak berpura-pura adalah kunci utama agar Anda bisa bertahan sebagai fighter.
Bila rasanya ini menjadi beban berat bagi Anda, sudah waktunya bagi Anda untuk memikirkan memastikan status Anda sebagai janda. Karena sebetulnya, kalau Anda beragama Islam, tiga bulan ia tak menafkahi Anda lahir batin, Anda sudah bisa menggugatnya. Aduh, coba lagi, deh, ya? Bercerai juga banyak tak enaknya kok, Bu Galau.
Kesepian sebenarnya bersumber pada perasaan ketiadaan teman, bukan? Lihat diri Anda, apakah Anda punya teman dalam hidup Anda? Teman SD, SMP, SMA, mahasiswa, bahkan sesama orangtua murid di sekolah anak Anda? Bina hubungan dengan mereka dan hidup Anda pasti akan penuh warna.
Lihat sekeliling kita saat ini, demonstrasi di mana-mana pertanda keresahan BBM mau naik. Saya mau katakan, kalau kita hanya tergantung pada satu hal, maka begitu hal tadi akan berubah atau sudah berubah, goncangannya terasa kuat banget. Kita ribut, karena rasanya tak ada energi alternatif, bukan? Bangsa kita belum terbiasa dengan apa yang disebut energi baru atau terbarukan. Maka, ini sedang digalakan oleh Kementerian ESDM.
Nah, hidup pribadi juga begitu. Kalau suami kita anggap faktor satu-satunya yang mampu mengatasi kesepian, maka rasa takut kehilangan akan membuat kita selalu ragu bersikap. Coba juga, deh, untuk belajar, bukan mengganti suami dengan yang baru atau terbarukan, lebih aktif membina persahabatan dengan lebih banyak teman. Pastilah keceriaan akan datang pada diri Anda. Lalu, ketika sudah banyak energi positif dalam diri, Anda juga tak cepat-cepat merasa tak berdaya saat menghadapi suami.
Saya saja sampai hari ini masih berhubungan dengan penuh tawa dan canda dengan teman-teman SMA yang sebenarnya secara fisik sudah berpisah lebih 30 tahun, Bu Galau. Tapi, saat kami tertawa dan saling melecehkan dalam canda, perasaan bahwa kita jadi tua tetapi tetap ceria, sangat besar dukungan positifnya untuk membuat diri merasa tidak sendirian menjadi tua di dunia ini. Oke, Bu Galau tersayang, cheer up your day, ya? Cerialah dan rumput di halaman rumah, bunga, dan pohon yang Anda tanam, akan ikut tersenyum dan mengirimkan energi positif pada Anda.
KOMENTAR