Ikatan (bonding) antara orangtua dan anak ternyata sangat berperan dalam menentukan masa depan anak. Keberhasilan bonding juga sangat ditentukan sejak anak berusia 0-2 tahun, yang merupakan masa emas (golden age) seorang anak. Bahkan menurut Rustika Thamrin, SPsi., Psikolog, CHt, CI, MTLT, bonding sangat diperlukan di usia-usia ini untuk menciptakan rasa aman.
"Kalau bonding terisi sesuai kebutuhan anak, maka ke depannya, anak akan menjadi anak yang tidak suka rewel, tidak takut ditinggal, dan bisa percaya pada orang," kata psikolog dari Brawijaya Women and Children Hospital, Jakarta. Sebaliknya, orangtua yang kurang bisa memenuhi bonding di usia 0-2 tahun ini akan bisa menimbulkan efek kurang baik. Contohnya, ketika kelak anak dewasa, ia tak bisa menaruh kepercayaan pada orang lain.
Pemenuhan bonding anak seringkali menjadi pilihan sulit orangtua, khususnya ibu yang juga wanita karier full time. "Ini pilihan hidup. Artinya, ketika seseorang memutuskan untuk mempunyai anak, maka ia harus siap dengan segala konsekuensinya," tegas Rustika.
Jika masa 0-2 tahun ini tidak terpenuhi, maka bonding pun akan menjadi tidak gampang. Apalagi jika Anda termasuk orangtua yang berpikir, "Ah masih kecil ini, masih bisa sama baby sitter." Menanggapi pola pikir seperti ini, Rustika mengingatkan betapa banyaknya ibu-ibu bekerja yang kemudian malah menjadi iri dengan baby sitter. "Karena anak lebih nyaman bersama baby sitter ketimbang sama ibunya. Ini karena bonding yang tidak terpenuhi tadi," tegas Rustika.
Sentuhan Kasih Sayang
Di masa pembentukan bonding selama dua tahun ini, Si Ibu tidak sekadar secara fisik ada bersama anak, tetapi 100 persen harus mendampingi anak dari sisi emosional. Itu sebabnya, muncul anjuran ASI untuk anak usia 0-2 tahun. Pasalnya, dengan ASI, rahim jadi mengerut. Dari sisi psikologis, pemberian ASI memberikan sentuhan skin to skin yang merupakan sentuhan lembut penuh kasih sayang. Hal ini jelas tidak bisa digantikan oleh boneka, misalnya.
Di usia 0-2 tahun pula, anak mengekspresikan ketakutan dan kecemasan dengan cara menangis. Mereka menangis karena lapar, capek, mengantuk, merasa tidak aman, cemas, kolik, dan sebagainya. Nah, meski setiap tangisan berbeda makna, orangtua harus mampu merespons tangisan anak dengan tepat. Artinya, orangtua harus memiliki kemampuan untuk berempati pada bayinya meski bayi belum bisa mengekspresikannya dengan tepat. Orangtua yang bisa berempati dan meng-handle dengan tepat keluhan anak, akan membuat anak tampil menjadi anak dengan pertumbuhan IQ yang tinggi di atas anak-anak yang tidak ditangani dengan tepat.
Jangan lupakan juga EQ alias kematangan emosi. Dari segi kecerdasan emosi, 80 persen kesuksesan seseorang ditentukan oleh EQ. "Jadi jelas, karena ada sentuhan, maka ada rasa aman. Karena orangtua memberikan kasih sayang dengan tatapan mata dan body language yang pas, maka anak merasa aman, nyaman, damai. Perasaan disayang dan dicintai ini akan membantu membentuk rasa pede anak," jelas Rustika. Jika anak merasa aman, nyaman, dan tenang, maka tahapan berikutnya, yakni kemandirian, tanggung jawab, dan kreativitas pun akan mampu dipenuhi.
Kesiapan Si Ibu
Pemenuhan bonding ini juga dipengaruhi oleh kesiapan Si Ibu. Jika, secara psikologis, mental, dan emosi Si Ibu tidak siap, maka ini justru bisa membuatnya stres.
Sebut saja sentuhan dan detak jantung seorang ibu saat anak meminum ASI, misalnya. Dua hal ini akan mentransfer energi ke anak. Bayangkan bila ibunya resah dan tertekan, detak jantung yang tidak tenang itu pasti akan sampai ke anak. Akibatnya, bawaan Si Anak bakal "grasak-grusuk" atau tidak tenang. Tapi kalau Si Ibu tenang, maka ia akan juga mentransfer energi ke anak dengan detak jantung yang tenang.
Banyak juga orangtua muda yang belum siap memiliki anak. Akibatnya, mereka tidak mampu memenuhi bonding Si Kecil. Menurut Rustika, sebelum menikah atau punya anak, para ibu ini sebaiknya belajar tentang tahap perkembangan anak dan bagaimana cara untuk memenuhi tahap-tahap tersebut. Termasuk belajar tentang self healing untuk mengatasi stres.
Salah satu contoh ketika Si Ibu mengalami baby blues usai melahirkan. Ibu muda ini menjadi cemburu tanpa alasan pada Si Kecil, karena orang-orang di sekitarnya mendadak lebih memerhatikan bayinya ketimbang dirinya. "Ini berarti Si Ibu masih selfish, belum dewasa. Intinya, Si Ibu harus mendewasakan dirinya sebelum punya anak," ujar Rustika.
Bekerja Dari Rumah
Jadi, bagaimana jalan keluarnya supaya wanita karier tetap bisa memenuhi bonding dengan anaknya? Sebelum mempunyai anak, sebaiknya dipikirkan cara yang cerdas, misalnya bagaimana memilih pekerjaan yang fleksibel. Ada banyak cara yang bisa dilakukan ibu yang juga wanita karier agar bonding anak bisa terpenuhi. Yang pertama adalah mengambil cuti. Kalau cuti formal tiga bulan masih kurang, tak ada salahnya mengambil cuti tambahan tanpa ditanggung kantor. Namun, ada juga orangtua bekerja yang karena terpaksa lantas berhenti atau cuti tanpa tanggungan demi mendampingi buah hatinya, sementara jiwa mereka tidak di situ. Yang ada, Si Ibu menjalani masa-masa 0-2 tahun anaknya dengan beban, tidak menikmati, dan tidak bahagia. "Apa yang terjadi? Tujuan memenuhi rasa aman anak akhirnya tidak terbentuk. Yang ada, Si Ibu jadi tertekan dan merasa terbebani," jelas Rustika.
Sekarang, banyak ibu-ibu muda yang memilih menjadi pengusaha, yang tentu dari sisi waktu lebih fleksibel. Dan ternyata, lanjut Rustika, dari sekian wanita yang memutuskan stop bekerja dan menjadi pengusaha atau bekerja dari rumah, penghasilannya malah lebih besar. Mereka juga terhindar dari stres dan bisa menikmati pekerjaannya. "Apalagi sekarang zaman sudah maju, pekerjaan bisa dilakukan dari rumah melalui internet. Bisnis online, misalnya. Jadi, bukan berarti punya anak adalah akhir dari karier. Karier tidak harus full time job, kan?"
Mengontrak atau menyewa rumah yang dekat dengan kantor juga bisa dipilih, sehingga Si Ibu masih sempat untuk menengok Si Kecil setiap saat. Cara lain yang lebih cerdas adalah menitipkan anak di kantor atau dekat kantor. Pukul 10 pagi, Si Ibu bisa memberikan ASI. Jam istirahat siang, Si Ibu bisa kembali menemani anak. Pukul 3-4 sore, Si Ibu bisa memberikan ASI lagi, dan seterusnya. "Lebih bisa diatur. Ini yang perlu didorong pada perusahaan besar," saran Rustika.
Toh, seandainya semua cara ini tidak bisa juga dipenuhi, masih ada nenek atau oma yang bisa "menggantikan" peran Si Ibu. Meski tidak bisa 100 persen, cara ini masih lebih baik ketimbang menyerahkan bonding anak ke pembantu atau baby sitter. Yang harus dicermati, di usia yang krusial ini, anak justru belajar dari orang terdekatnya. "Dia bakal mengadopsi cara berbicara dan cara berpikir orang terdekatnya," pungkas Rustika.
Hasto Prianggoro / bersambung
KOMENTAR