Sejumlah anak juga takut terhadap suara keras binatang, misalnya gonggongan anjing. Si prasekolah tidak saja takut karena suara anjing yang begitu mengagetkan tapi mungkin pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri ada orang yang digigit anjing. Atau mungkin ia sendiri pernah digonggong anjing bertaring besar dan tajam atau malah dikejar-kejar binatang ini. Jadi, setiap mendengar gonggongan anjing, otomatis anak ketakutan.
RAGAM PENYEBAB
Lalu, kalau memang di usia 4-5 tahun ternyata anak masih takut mendengar suara-suara keras, apa yang menjadi penyebabnya?
1. pengalaman buruk
Pengalaman buruk biasanya membekas dalam benak anak. Misalnya, pernah hampir terserempet motor yang sedang ngebut, tak sengaja melihat kilatan petir, atau pernah dibentak oleh ayah/ibunya. Tentunya, pengalaman yang tidak mengenakkan seperti ini membuat anak selalu ketakutan begitu mendengar suara keras mesin motor, kilatan petir, bentakan ayah/ibu, dan sebagainya. Dia merasa terancam jika mendengar suara-suara keras itu.
2. ditakut-takuti
Ketakutan anak terhadap suara keras biasanya juga muncul karena selalu ditakut-takuti. Misalnya, "Awas, jangan main di luar nanti dikejar anjing! Jangan ke sana nanti ketabrak motor!" Nah, karena anak ditakut-takuti seperti itu akibatnya dia selalu merasa tidak nyaman dan selalu merasa takut.
3. imajinasi/khayalan
Di usia prasekolah, daya imajinasi anak makin berkembang. Si anak berimajinasi, seolah-olah benda atau sesuatu yang mengeluarkan suara keras itu akan membuat dirinya celaka. "Wah, jangan-jangan helikopter yang terbang rendah itu akan jatuh nih!"
TRAUMA DAN FOBIA
Jika ketakutan anak terhadap suara keras tak segera ditangani, kemungkinan ia akan mengalami trauma. Si prasekolah akan mudah cemas dan selalu khawatir berlebihan jika mendengar suara keras. Bahkan tidak tertutup kemungkinan ketakutannya bisa berkembang menjadi fobia. Fobia adalah perasaan takut yang berlebihan terhadap suatu situasi atau keadaan yang sebetulnya bagi kebanyakan orang tidak cukup menimbulkan rasa takut. Gejala fobia antara lain menjerit histeris, bersikap sangat ketakutan, keluar keringat dingin, sakit kepala, dan bersembunyi. Si anak sendiri sebenarnya menyadari perasaan takutnya tak cukup beralasan. Namun, dia sulit mengendalikan perasaan takutnya.
Trauma dan fobia, sebagai gangguan psikologis, perlu segera ditangani karena bisa menjadi penghambat hidup si kecil. Aktivitas sehari-hari akan dijalaninya dengan perasaan tercekam dan terancam. Seluruh proses belajar dan bermain di "sekolah" pun akan berlangsung tidak nyaman. Akhirnya, jiwanya juga tak akan berkembang. Untuk menghilangkan trauma dan fobia tentunya dibutuhkan proses dan latihan yang berkesinambungan. Proses ini tentu tidak semudah membalik telapak tangan, melainkan butuh waktu yang cukup panjang tergantung tingkat trauma atau fobia yang dialaminya.
KOMENTAR