Di balik kepraktisan puyer ternyata tersimpan sesuatu yang bisa membahayakan Si Kecil. Itu sebabnya, di negara maju puyer sudah tak lagi diberikan. Mengapa?
Menurut dr. Matheus Tatang Puspajono SpA, spesialis anak dari Siloam Hospital-Lippo Karawaci, sebetulnya ada beberapa pertimbangan yang bisa dijadikan alasan para dokter untuk tidak lagi memberikan resep racikan puyer. Beberapa alasannya antara lain:
BERSIFAT TAK STABIL
Penggunaan sediaan obat racikan jenis puyer memang memiliki banyak kekurangan. Salah satunya, kelabilan sifat obat yang diracik.
"Sebetulnya, sebelum memasuki proses produksi massal, obat sudah diteliti lebih dulu sifat reaksi yang ditimbulkan, melalui standar farmasi. Jadi, bentuk sediaan yang akhirnya dipilih, sudah melalui pertimbangan yang matang," jelas Tatang.
Tatang lalu mencontohkan pada sediaan obat salut selaput. Salut selaput adalah jenis sediaan obat berbentuk seperti kapsul dengan lapisan semacam agar-agar kering di bagian luarnya, yang dimaksudkan agar kandungan obat terlindung dari reaksi asam lambung. Sehingga, obat baru bisa larut dan diserap tubuh setelah melewati lambung atau masuk ke usus halus.
Para farmasis membuat sediaan obat jenis ini karena sifat obat yang tidak stabil dan mudah bereaksi dengan asam lambung. Sehingga, jika larut di lambung lebih dulu, dikhawatirkan bahan obat tadi akan cepat rusak, akhirnya tak bisa memberi manfaat secara optimal.
"Bayangkan jika obat yang tidak stabil ini lalu harus diracik dalam bentuk puyer yang langsung masuk ke lambung. Tentu reaksi yang terjadi tak akan seperti yang diharapkan, bukan?" ujar Tatang.
TIDAK ADA UKURAN STANDARD
Selain sifat obat yang jadi bahan pertimbangan, alasan lain dokter untuk tidak lagi menggunakan resep racikan puyer adalah karena kadar per kemasan yang tak bisa dipertanggung jawabkan alias tak ada ukuran standarnya.
Idealnya, setiap membagi obat racikan digunakan timbangan khusus obat. Sehingga, didapat takaran yang tepat, sesuai kebutuhan. Tetapi, rata-rata resep racikan yang diawali dengan penggerusan obat pada mangkuk itu, dibagi berdasarkan insting dan kejelian mata sang peracik obat saja.
Misalnya, setelah seluruh obat tergerus, biasanya racikan itu harus dibagi menjadi sepuluh kemasan kertas puyer. Maka, peracik obat akan membaginya menjadi dua bagian lebih dulu, lalu dibagi lagi menjadi lima bagian. Idealnya, obat perlu ditimbang masing-masing sehingga tiap kemasan memiliki berat dan kandungan yang sama.
KEMURNIAN & HIGIEN TAK TERJAMIN
Pada produksi obat di perusahaan farmasi, proses produksi harus melalui standard farmasi yang ketat. Sehingga, mulai dari takaran bahan aktif sampai kemasannya pun terjamin, baik dari faktor kontaminasi bahan lain maupun kuman.
Sementara, obat racikan atau puyer tentunya tak bisa mematuhi prosedur yang ketat tadi. Bayangkan bila peracik obat harus menghasilkan racikan untuk pasien rumah sakit yang membludak. Misalnya, di peralihan musim kemarau ke musim hujan, dimana banyak penyakit yang diderita anak-anak seperti diare dan flu.
Tentunya, proses sterilisasi alat yang dipakai untuk meracik obat tak bisa dilakukan. Jangankan membersihkannya dengan alkohol, atau mencucinya dengan sabun terlebih dulu. Yang ada, jika pasien sudah mengantre, mangkuk peracik obat bisa-bisa cuma dilap saja. Sehingga, kemungkinan masih tersisa partikel obat racikan sebelumnya, saat harus meracik obat selanjutnya.
BISA TERJADI INTERAKSI
Seringkali, yang dijadikan pertimbangan untuk memberi puyer pada anak adalah faktor kemudahan. Dengan meraciknya, beberapa obat bisa disatukan sekaligus. Misalnya, obat demam dan flu sekaligus.
Kendati demikian, ada beberapa obat yang bisa berinteraksi antara satu dengan lainnya. Tatang mencontohkan, obat TBC atau obat flek paru. Konon, obat ini tak bisa diberikan bersamaan karena akan melemahkan efek obat lainnya.
"Nah, jika hanya bersandar pada alasan mendapat kemudahan lalu obat ini diracik menjadi satu, tentu akan membuat efeknya justru tidak efektif, bukan?" ujar Tatang.
SULIT MENGANTISIPASI ALERGI
Setiap obat yang bukan termasuk kategori obat bebas atau harus dengan resep dokter, memiliki risiko kontra indikasi dan bisa menimbulkan alergi. Hal ini juga menjadi pertimbangan mengapa puyer tidak lagi digunakan.
Salah satu kelemahan dari obat puyer adalah sulitnya mendeteksi zat alergen dalam obat, yang mencetuskan alergi pada anak. Ketika anak mulai gatal-gatal atau kulitnya kemerahan, dokter sulit melakukan tindakan taktis untuk menghentikan penggunaan salah satu jenis obat. Padahal, obat itu tetap diperlukan untuk mengatasi penyakit utama yang diderita anak.
"Idealnya, jika satu obat menimbulkan alergi, dokter akan segera mengganti obat itu dengan obat sejenis dari merek lain. Sehingga, pengobatan tak perlu dihentikan," ujar Tatang.
Laili Damayanti
Foto: Agus Dwianto/NOVA
KOMENTAR