Saling terbuka antara pihak sekolah dengan orang tua sangat dibutuhkan untuk mencegah dan meminimalkan risiko cedera.
Namanya juga kecelakaan, di mana pun bisa saja terjadi, termasuk di TK tempat si prasekolah melakukan sebagian kegiatannya. Apalagi, diungkapkan Tari Sandjojo, Psi., rentang usia 1-5 tahun merupakan masa rentan kecelakaan. Jadi meski keterampilan motorik kasar dan halusnya si prasekolah makin baik dan rasa bahayanya juga makin tinggi, semua itu masih bisa dikalahkan oleh kegembiraan mencoba berbagai hal. Akibatnya, kecelakaan tetap saja menghantui mereka.
Coba perhatikan di TK-TK. Begitu jam bermain di halaman sekolah tiba, anak-anak akan berhamburan keluar tanpa mengindahkan bahaya. Maunya semua mainan yang ada dicoba. "Nah, rasa senang yang berlebihan ini bisa membuat mereka rawan kecelakaan karena kewaspadaan jadi berkurang. Mereka tahu kalau main ayunan terlalu tinggi bisa jatuh. Mereka juga sudah tahu rasanya sakit. Namun, ketika ada teman yang mengajak, tak segan-segan mereka melakukannya," ujar Psikolog dari Cikal ini.
Toh, si prasekolah enggak selamanya grasa-grusu seperti itu. Istilah yang diberikan Tari, ada grafik naik turunnya. Maksudnya, meski keingintahuan mereka sangat besar, tetap ada waktu-waktu dimana mereka berlaku kalem, yaitu saat anak mulai mengenal rasa cemas, takut dan malu. Saat merasakan jatuh dari perosotan, contohnya, anak akan berpikir ternyata jatuh itu bikin sakit. Mulailah ia lebih berhati-hati.
Rasa malu juga bisa membuat grafik grasa-grusunya menurun. Sebelum ia melakukan sesuatu, imajinasinya berjalan, "Ah, kalau aku lompat lalu jatuh nanti malu dilihat banyak orang." Alhasil polah eksplorasinya pun akan berkurang sedikit. Namun, bila self-esteem atau konsep dirinya sudah kembali, maka perilaku grasa-grusunya meningkat lagi. Itulah mengapa grafiknya digambarkan naik turun.
LINGKUNGAN HARUS AMAN
Terlepas dari masalah grafik tadi, anak mana, sih, yang mau cedera. Oleh sebab itulah, menurut Tari, pihak sekolah perlu mengantisipasi beberapa hal untuk meminimalkan risiko kecelakaan pada murid. Yang perlu diingat, langkah antisipasi ini tidak semestinya berupa larangan bermain dan larangan mencoba hal ini-itu. Bukankah pendidikan yang paling baik adalah yang sebisa mungkin menghindari kata "jangan" atau "awas".
Memang, hal ini membuat makin besarnya peluang risiko kecelakaan pada anak. Sebagai jalan tengah, mau tidak mau pihak sekolah perlu menciptakan lingkungan yang seaman mungkin. Contoh yang paling umum saja, furnitur di TK sebaiknya tidak memiliki sudut atau tepi-tepi yang tajam. Jadi, meskipun anak tetap menghadapi risiko terbentur, benturan itu tidak akan sampai merobek kulitnya.
Perhatikan juga bagian dari bangunan yang dapat membahayakan anak. Tangga yang curam, misalnya. Paling baik buatlah peraturan bahwa setiap anak yang mau turun tangga harus ditemani. Bisa oleh para staf sekolah atau pendampingnya. "Karena kalau tidak, kita pasti sering berteriak, 'Awas jatuh!' ini, kan, yang perlu dihindari," ujar Tari.
Kebersihan pun tidak boleh luput dari perhatian. Kontrol kebersihan dengan memeriksa semua fasilitas harus dilakukan setelah jam sekolah usai. Misalnya, pasir permainan harus diaduk-aduk untuk mencegah adanya kotoran atau binatang yang bersembunyi di situ.
Untuk menangani anak-anak yang mengalami kecelakaan, para guru sebaiknya mendapat bekal pengetahuan P3K dan gawat darurat. Mereka harus tahu cara mengatasi anak yang luka karena memegang panci panas ketika sedang belajar memasak, misalnya. Atau bagaimana cara menangani memar yang benar. Intinya, jangan sampai salah penanganan.
Pelatihan P3K, gawat darurat, dan latihan kebakaran bagi staf sekolah, menurut Tari, harus diberikan secara berkala setiap 6 bulan sekali. Pertama, karena mungkin ada karyawan baru. Kedua, keterampilan seperti itu harus selalu disegarkan agar tak lupa. Diharapkan dengan pelatihan berkala para staf sekolah tidak kelabakan saat menghadapi kejadian langsung.
Tiap sekolah pun sebaiknya memiliki rujukan public service terdekat. Sebenarnya hal ini harus sudah menjadi PR sebelum mendirikan sekolah. Seperti klinik, puskesmas atau rumah sakit mana yang terdekat. Bagaimana jarak sekolah dengan stasiun pemadam kebakaran? "Semua perlu dipikirkan terlebih jika berhubungan dengan anak-anak. Jarak sekolah dengan public service sebaiknya tidak terlalu jauh. Apalagi kota Jakarta rawan kemacetan," kata Tari.
BILA TERJADI KECELAKAAN
Yang patut disadari, lingkungan sekolah yang sudah dirancang seaman mungkin tetap tidak menutup kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Seringan apa pun kecelakaan yang terjadi harus dilaporkan kepada orang tua. Kalau tidak malah akan memancing masalah yang lebih besar. "Walau anak cuma kebeset atau kepentok harus dilaporkan. Hanya saja, orang tua sering beranggapan seolah-olah anak tidak akan mengalami kecelakaan selama hidupnya. Padahal bila kita ingin ia bereksplorasi lebih banyak maka kecelakaan-kecelakaan kecil sebenarnya sangat mungkin terjadi."
Penanganan saat terjadi kecelakaan harus cepat dan tepat.
Yang pertama harus dilakukan adalah melihat kondisi anak terlebih dulu. Lihat, penanganan apa yang bisa dilakukan pertama kali. Lupakan dulu segala pertanyaan yang muncul. "Kok, bisa begini sih? Apa enggak ada yang mengawasi?" karena akan membuang-buang waktu.
Kalau cedera anak tidak dapat diatasi sendiri dengan P3K, maka harus segera dibawa ke rumah sakit terdekat.
Pihak sekolah mesti mengurus keperluan anak hingga selesai. Bila orang tua tidak ada maka harus segera dihubungi.
Pihak sekolah harus siap menerima reaksi kemarahan orang tua.
Walau sebenarnya sekolah tidak salah karena sudah ada serah terima dengan pendampingnya, atau anak sebenarnya sudah dapat ditangani dengan baik, pihak sekolah tetap harus menerima apa pun reaksi yang diberikan orang tua.
Jelaskan pada orang tua apa yang sudah terjadi serta treatment yang sudah dilakukan.
Yang penting pihak sekolah tidak boleh terlihat panik, seperti, "Aduh anak Ibu jatuh. Bagaimana ya, Bu?" Mendengar itu pasti orang tua juga akan panik. Lebih baik jabarkan dengan tenang apa yang sudah dan akan dilakukan selanjutnya.
Bila semua sudah dapat diatasi, langkah selanjutnya adalah membahas yang telah terjadi. Setelah itu, buat antisipasi berikutnya.
Misalnya, kecelakaan terjadi karena anak terlempar dari ayunan. Antispasinya bisa dengan membuat seatbelt pada ayunan. Atau beri pasir di dekat ayunan untuk meminimalkan risiko. Kalau perlu mesti ada staf sekolah yang selalu menjaga di situ.
ANTISIPASI ORANG TUA
Bawalah perbekalan P3K ke mana pun pergi bersama anak, seperti obat merah, obat terbentur, es tonjok, plester, alkohol, inhaler, dan lainnya.
Kecelakaan tidak dapat diramalkan di mana dan kapan akan terjadi. Perbekalan ini membantu bila pihak TK anak kita ternyata kurang peduli terhadap masalah P3K. Paling tidak kita punya sesuatu untuk pertolongan pertama. Anak penderita asma, misalnya, tentu akan tersiksa bila sesak napasnya datang selagi bermain. Sementara, tidak semua TK bisa menyediakan inhaler. Jadi enggak ada salahnya disiapkan sendiri.
Bersikaplah terbuka mengenai kondisi kesehatan anak.
Apalagi jika anak memiliki kasus khusus seperti autisme dan epilepsi. "Kelainan yang sering ditutupi adalah epilepsi. Mungkin karena ketika anfal kondisinya tidak enak dilihat. Orang tua lalu menganggapnya sebagai sesuatu yang memalukan. Padahal bila tidak diinformasikan pada pihak sekolah akan bahaya sekali. Kalau sampai guru tidak tahu cara menangani anak epilepsi, kan, malah memperburuk keadaan," papar Tari.
Alasan lain orang tua menutup-nutupi kondisi kesehatan anak adalah kekhawatiran bahwa si anak tidak akan diterima di sekolah tersebut. Padahal ini bukan masalah ditolak atau diterima, tapi dengan mengetahui riwayat kesehatan anak, pihak sekolah akan dapat memberikan pertolongan pertama dengan lebih baik. Jangan sampai terjadi salah penanganan.
BIAYA RUMAH SAKIT
Bagaimana dengan biaya perawatan rumah sakit bila anak mengalami kecelakaan di sekolah? Soal biaya, kata Tari, tergantung kebijakan sekolah masing-masing. Yang penting semua harus jelas di awal. Misalnya, ada sekolah yang menetapkan jatuh di sekolah adalah tanggung jawabnya sampai tindakan P3K. Bila memerlukan tindakan lebih lanjut sudah bukan tanggung jawab sekolah lagi. "Jadi orang tua tahu. Jangan sampai sudah kejadiaan terus ribut-ribut. Kalau batasannya jelas, kan lebih enak penyelesaiannya."
KOMENTAR