Berikutnya, ajarkan untuk mengatakan "tidak" jika ada orang yang melecehkannya. "Untuk itu ia harus dilatih refleksnya guna menolak jika ada yang akan melakukan pelecehan seksual padanya." Misal, "Kalau ada yang ngasih permen kepada kamu dengan syarat dipegang-pegang, kamu gimana? Bilang, enggak mau, gitu, ya?" Atau, "Jika ada orang yang pegang-pegang kamu, kamu gimana? Teriak, ya?"
Tentu saja tak hanya sekadar berkata-kata, tapi harus disertai praktek. "Orang tua memegang paha atau bagian tubuh sensitif lainnya, lalu bilang padanya, 'Kamu harus ngapain jika dibeginikan sama orang lain selain Bunda dan Ayah?' Jika anak mengatakan, 'Aku akan bilang padanya bahwa kata Bunda itu tidak baik dan kalau memaksa aku akan teriak dan bilang sama Bunda dan Papa.', berarti latihannya berhasil."
Setelah anak lancar dengan latihan tersebut, kita bisa melakukan hal tersebut tapi secara mendadak tanpa diketahui anak untuk melihat reaksinya. Jika ia menunjukkan reaksi penolakan seperti saat latihan pertama, itu pertanda ia sudah cukup siap dan akan menolak jika dirinya hendak dijadikan korban pelecehan.
Tentunya latihan ini harus dilakukan secara konsisten, kontinyu, dan dalam suasana yang menyenangkan anak layaknya sedang bermain. "Kalau tidak, bisa-bisa apa yang kita ajarkan padanya akan percuma saja. Anak akan merasa bosan atau beralih ke hal yang lain," bilang Nadhira.
DAMPAK PADA ANAK
Orang tua pun harus bisa menjadi contoh bagi anak, yaitu dengan tak melakukan hal tersebut pada keponakan atau anak teman. Sekalipun kita tak bermaksud melakukan pelecehan seks, melainkan hanya bergurau, misal. Jika hal ini kita abaikan, anak pun akan menghujani kita dengan kritik dan pertanyaan, "Pa, katanya itu enggak baik. Kok, Papa pegang-pegang paha Kakak itu. Kan, dia bukan anak Papa," misal. Akhirnya, bukan tak mungkin anak akan menganggap jika ada yang berlaku demikian padanya adalah hal yang wajar dan biasa sebab orang tuanya pun suka melakukan hal tersebut pada saudaranya atau teman-temannya. Celaka, kan?
Ingat, lo, dampak dari pelecehan seks yang dialami anak amatlah besar. Meskipun biasanya anak akan merasakan itu setelah ia besar nanti, entah kala duduk di SMP atau SMA. Bukankah saat itu biasanya ia akan tahu dari berbagai informasi bahwa hal tersebut adalah tidak baik? Jika diketahuinya saat itu, jelas Nadhira, bisa jadi si anak akan merasa syok atau malah trauma, karena ia sadar bahwa apa yang pernah dialami sewaktu kecil adalah sesuatu hal yang harusnya tak dia alami. "Ekstremnya, ia bisa saja merasa bahwa dirinya telah ternoda, hina, kotor, dan sebagainya. Bahkan, ia bisa menyalahkan kebodohan dirinya itu dan akhirnya merembet ke hal-hal yang lain. Misal, enggak mau menikah, mendendam terhadap lawan jenis, frigid, atau malah berkembang jadi penyakit mental."
Gazali Solahuddin.
KOMENTAR