Selain itu, terang Mitha, selalu beri kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan apa saja pada anak tanpa membedakan gender. Singkirkan pula sikap kelewat melindungi pada anak hanya karena dia wanita, misalnya. Seperti, "Aduh, Dek, enggak usah, deh. Biar saja nanti Mas yang bawain atau selesaikan." Dengan begitu, dalam diri tiap anak tetap harus ditumbuhkan sikap/kesediaan saling melindungi/membantu, tanpa harus mengalihtugaskan hal yang sama ke saudaranya. Dengan kata lain, kita tidak perlu meringankan yang satu namun membebani yang lainnya.
Apa pun, anak perempuan harus punya pengalaman menangani/menyelesaikan pekerjaan yang "berat". Jangan sampai terucap, "Biar Mas yang bawa, Adek pegang ini aja." Akan lebih baik bila mereka dilibatkan secara bersama. Manfaatnya, mereka belajar menjalin kerja sama sementara pekerjaan pun jadi terasa lebih ringan.
BERI CONTOH NYATA
Untuk bisa memberi kesempatan yang sama, tentu harus ada usaha dari orang tua. Jangan hanya berikan kegiatan "kasar" seperti memanjat, lari-larian, atau sejenisnya. Ajarkan juga cara melipat baju, merapikan tempat tidurnya atau meronce untuk mengembangkan kemampuan motorik halusnya. Dengan membiasakan hal-hal semacam itu, anak-anak laki akan bisa mengembangkan kemampuan motorik halusnya sejajar dengan kemampuan motorik kasarnya. Sebaliknya, izinkan pula anak perempuan bergelantungan memanjat pohon, ngebut naik sepeda atau mengejar-ngejar bola.
Untuk bisa memberi kesempatan yang sama pada anak tanpa membedakan jenis kelamin, pembiasaan harus dimulai dari atas. Artinya, di hari Minggu pun, bapak bersedia menyirami bunga, memasak, atau beres-beres rumah. Dengan begitu anak akan terbiasa melihat "pemandangan" tersebut sekaligus ingin menirunya karena ada contoh nyata.
Contoh langsung semacam itu, terang Mitha, akan lebih mengena diterapkan pada anak dibanding penjelasan panjang lebar yang cuma bikin anak bosan dan akhirnya ogah mendengar. Untuk menggugahnya agar mau menulis rapi/bagus, mengapa tak ditonjolkan pujian dan kelebihannya? "Bagus banget, ya, tulisan Kakak. Mama/Papa jadi bisa baca. Pasti nanti Kakak dapat bintang dari ibu guru di 'sekolah'."
Yang perlu diingat pula, kedepankan hal-hal konkret.Soalnya, buat anak, konsep "pintar" jelas tak dipahaminya karena kelewat mengawang-awang. Anak akan lebih cepat menangkap informasi positif tentang dirinya. Semisal, "Kata Mama aku pintar melipat.", "Kata Papa tulisanku bagus.", atau "Bu Guru bilang aku mewarnainya enggak keluar garis, lo." Nilai-nilai konkret itulah yang mudah dicerna oleh anak yang akan mendorongnya mempertahankan sekaligus meningkatkan "prestasi"nya. Sebab, si anak merasakan sendiri bahwa aktivitas-aktivitas tersebut ternyata menyenangkan. Tuh, asyik, kan, punya anak laki-laki tekun dan anak perempuan "tegar"?
Th. Puspayanti
KOMENTAR